Amandemen UUD 1945 yang mengalami empat kali perubahan telah menimbulkan permasalahan baru karena sistem pemerintahan yang berlaku belum jelas, apakah mengunakan sistem presidensial atau parlementer. Maka harus ada partisipasi publik yang lebih luas untuk menyikapi draft amandemen UUD 1945 untuk yang kelima kalinya melalui berbagai cara dan publikasi media, sehingga mampu menjangkau berbagai lapisan masyarakat.
Demikian hasil Rumusan Forum Expert Meeting, 17-18 Maret 2007 di hotel Mercure yang dibacakan oleh HM. Fajrur Falaakh, SH, MA, M.Sc dan Denny Indrayana, SH, LL.M, Ph.D. Menurut Fajrur, beberapa pakar yang telah hadir dan memberikan pemikiran mengenai Amandemen Konsitusi dalam perspektif Ahli diantaranya, Prof. Sofian Effendi, Prof. Sri Soemantri, Prof. Dahlan Taib, Prof. Sugeng, Prof. Mahfud MD.
“Sistem presidensial yang berlaku selama ini masih belum jelas karena mengaplikasikan sistem parlementer. Dalam sistem Presidensial, harus ada pemisahan antara eksekutif dan legislatif, seorang Presiden berfungsi sebagai kepala Negara dan kepala pemeritahan. Sebaliknya, dalam sistem perlementer, eksekutif dan legislatif melebur menjadi satu, Fungsi Kepala Negara dan kepala pemerintahan terpisah yang dipimpin oleh orang yang berbeda pula,†ujar Fajrur Falakh dalam membacakan hasil rumusan para pakar, Minggu (18/3) di ballroom Hotel Mercure.
Yang sekarang terjadi kata Fajrur, Presiden bisa berperan dalam fungsi legilslasi; membahas dan memberi persetujuan. Padahal dalam sistem Presidensil, Presiden tidak berperan dalam fungsi legislasi dan tidak ikut membahas serta memberi persetujuan, tetapi mempunyai hak tolak (veto). Veto Presiden dapat digagalkan oleh legislatif berdasarkan kuorum dan jumlah suara tertentu pada masing-masing kamar.
Jika Presiden dipilih langsung oleh rakyat; maka Presiden tidak dapat dijatuhkan oleh perlemen karena alasan politis, melainkan hanya melalui impeachment ; fixed term (masa jabatan tetap/terjamin). “Sistem Presidensial yang berlaku selama ini tidak jalan dalam konteks multi partai dalam kerja kabinetnya. Karenanya dalam pilpres yang akan datang pencalonan jangan dimonopoli oleh partai lagi, sudah saatnya dibuka calon independen dimana pasangan harus separtai dan bukan kohabitasi †kata pengamat Hukum Tata Negara ini .
Terkait dengan amandemen Parlemen, Denny Indrayana lebih menyoroti tentang aturan yang menjelaskan tipologi parlemen apakah bersifat unikameral atau bikameral. “MPR sebagai legislature yang merupakan forum joint session DPR-DPD sehingga tidak perlu ada sekretariat, pimpinan yang terpisah yang sifatnya permanent. Harus ada keterpisahan anatar eksekutif dan legislatif, DPR dan DPD mempunyai fungsi dan kerja yang jelas dalam hal legislasi, kontrol dan penganggaran (budgeting),†papar Denny Indrayana.
Sedangkan di bidang Yudikatif menurut Denny, Mahkamah Konstitusi perlu menambahkan constitutional complaints; satu atap judicial review dan sengketa pemilu. Adapun Komisi yudisial sebaiknya berfungsi sebagai pengawas hakim saja (Humas UGM)