Secara ekonomi, fasciologis merupakan penyakit yang menimbulkan banyak kerugian, baik penurunan berat badan dan karkas, produksi susu, gangguan reproduksi sampai pada kematian. Tidak kurang 2 juta kasus fasciolocis pada manusia mengalami peningkatan sejak tahun 1980. Dilaporkan, tingginya prevalensi penyakit ini terjadi terutama di daerah spesifik seperti di Bolivia (65-92%), Equador (24-53%), Egypt (2-17%) dan Peru (10%).
Demikian disampaikan Prof drh Kurniasih M VSc PhD saat mengucap pidato pengukuhan sebagai Guru Besar pada Fakultas Kedokteran Hewan UGM, Selasa, (20/3), di ruang Balai Senat UGM. Perempuan kelahiran Mojokerto 22 Mei 1951 ini, menyampaikan orasi berjudul “Perkembangan Fasciolocis dan Pencegahannya di Indonesiaâ€.
Kata Prof Kurniasih, penelitian terhadap 3000 anak-anak di Egypt, sebanyak 3% terinfeksi dan menunjukkan gejala anemi berat. Syndrom fasciolocis ini di Libanon disebut halzoun dan di Sudan disebut marrera.
“Kebanyakan dari mereka mengkonsumsi hati mentah yang berasal dari sapi, domba dan kambing terinfeksi. Cacing tersebut masih hidup dan melekat dinding pharynx yang menyebabkan pharyngitis berat dan oedema larynx,†ujar penerima penghargaan dosen peneliti muda, Depdiknas Surakarta tahun 1982.
Beberapa usaha pencegahan pun dilakukan. Upaya tersebut, kata Kurniasih, antara lain pemusnahan hospes intermedier (siput) dan rotasi penggembalaan.
“Meski begitu, sulit dan tidak efektif jika dilakukan di Indonesia. Karena peternak umumnya hanya memiliki sedikit hewan, 1-5 ekor dan kurangnya lahan rumput untuk penggembalaan,†ungkap dosen teladan II UGM tahun 1983 ini.
Lebih lanjut, Prof Kurniasih menjelaskan bahwa pengendalian fasciolocis di Indonesia dilakukan dengan memberantas parasit dalam tubuh ternak melalui pengobatan, seperti pemberian Carbon tetrarchlorida, Hexa chloroethan, Hexa chlorophene, Nitroxilyn dan lain-lain. Disamping itu, melakukan pemberantasan siput hospes intermedier cacing hati secara fisik, yaitu dengan drainase lahan pengairan, kimia dengan Cupri sulfat dosis 10 sampai 30 kilogram per hektar dan biologis, yaitu melepas itik agar memakan siput.
“Selain itu menghindari penggembalaan ternak di tempat yang tergenang agar terbebas dari kemungkinan terinfeksi cacing hati dan tidak menyabit rumput yang pernah tergenang air,†tandas istri drh Syarifuddin Tato SU, ibu lima putri ini. (Humas UGM)