Dikatakan Drs Suyahmo MSi, substansi pemikiran John Stuart Mill sejalan dengan pengembangan hak asasi manusia yang tengah menjadi isu dunia internasional, termasuk Indonesia. Bahwa, lahirnya Hak Asasi Manusia (HAM) dilandasi dua hak paling fundamental, yaitu hak persamaan dan hak kebebasan, yang mencerminkan hak kebebasan seseorang tidak boleh dipergunakan untuk memanipulasi hak orang lain, demi kepentingannya sendiri, namun sebaliknya untuk membuat orang lain tidak dirugikan sehingga terdapat persamaan.
Staf pengajar Universitas Negeri Semarang (UNES) mengungkapkan hal tersebut saat ujian doktor di sekolah Pascasarjana UGM, Selasa, (20/3). Promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Filsafat Kebebasan John Stuart Mill Relevansinya Bagi Pengembangan Hak Asasi Manusiaâ€, dengan bertindak selaku promotor Prof Dr Koento Wibisono dan ko-promotor Prof Dr Kaelan MS.
Bentuk ideal hak kebebasan, kata Suyahmo masih jauh dari harapan. Bahwa hak kebebasan yang mensyaratkan keseimbangan antara hak dan kewajiban dalam perkembangannya masih mengalami ketimpangan-ketimpangan.
“Artinya, apa yang sesungguhnya terjadi dalam praktek kehidupan (das sein) tidak sejalan dengan apa yang seharusnya diwujudkan (das sollen),†ujar Suyahmo, pria kelahiran Grobogan 28 Maret 1955 lalu.
Kata Suyahmo, kebebasan menurut John Stuart Mill secara ontologis substansial bukanlah perbuatan bebas atas dasar kemauan dirinya sendiri, bukan pula perbuatan bebas tanpa kontrol, tanpa pembatas, yang mengakibatkan daya kritis masyarakat tetap tiarap, namun perbuatan bebas yang diarahkan menuju sikap positif, tidak mengganggu dan merugikan orang lain, dan sebaliknya menguntungkan kedua belah pihak.
“Hal demikian itu merupakan cerminan hakikat keadilan bersifat universal, secara psikologis dapat mendatangkan kepuasan semua pihak dan secara aksiologis mendatangkan manfaat untuk mengatasi persoalan kehidupan masyarakat yang makin berkembang, pluralistik serta memberi manfaat berupa kebahagiaan bersama,†tambah suami Sri Ratmani, ayah Radini Sinta ini.
Selain itu, Suyahmo menjelaskan, bahwa dalam konteks universal, nilai moral substansial yang berupa kseimbangan hak dan kewajiban yang diajarkan John Stuart Mill melalui filsafat kebebasannya, sejak tahun 1948 diperjuangkan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) lewat Piagam PBB yang dikenal dengan sebuatan Declaration of Human Rights. Substansi deklarasi tersebut, katanya, berisi anjuran kepada bangsa-bangsa di dunia untuk menghargai dan mengembangkan hak-hak asasi, hak-hak kebebasan manusia, serta kewajiban mentaati hokum sebagai sarana pembatas demi terjaminnya pengakuan dan penghargaan terhadap kebebasan orang lain, sebagai syarat terpenuhinya keadilan dalam kehidupan bersama, baik kehidupan antara sesama manusia, sesama bangsa dan negara.
Di Indonesia, kata Suyahmo, nilai moral substansial berupa keseimbangan hak dan kewajiban yang diajarkan John Stuart Mill melalui filsafat kebebasannya juga diperjuangkan dan dikembangkan. Hal tersebut, kata dia, agar bangsa Indonesia yang besar dan pluralistik tetap terpelihara persatuan dan kesatuannya, sekaligus berupaya untuk mengembangkan dan melaksanakan hak asasi, hak kebebasan individu warganya dengan disertai kewajiban untuk saling menghargai dan menghormati kebebasan individu warga lain, demikian juga sebaliknya. Sikap dan perbuatan itu selaras dengan substansi nilai keadilan, tidak diskriminatif, dan secara ontologis bermanfaat untuk menjawab persoalan kehidupan masyarakat Indonesia yang makin berkembang dan kompleks.
“Sikap Indonesia yang diterapkan bagi warganya itu, juga diterapkan dalam hubungannya dengan negara lain dalam bentuk politik bebas aktif, tidak diskriminatif dan kerjasama saling menguntungkan,†tandas Suyahmo yang dinyatakan lulus dengan predikat memuaskan, sekaligus meraih gelar doktor bidang ilmu filsafat dari UGM. (Humas UGM)