Sebagian besar wilayah karst Gunungsewu di Kabupaten Gunungkidul memiliki tingkat kerentanan dan risiko yang tinggi terhadap pencemaran.
Padahal, sumber air di kawasan ini memiliki potensi pemanfaatan yang terbilang cukup tinggi.
“Wilayah karst seperti kawasan Gunungsewu memiliki potensi sumber daya air dalam jumlah yang melimpah. Namun demikian, secara umum kondisi air sungai bawah permukaan tersebut mengalami pencemaran,” ujar Eko Budiyanto saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM, Senin (29/1).
Ia menuturkan, secara umum medan karst memiliki kerentanan dan risiko yang tinggi terhadap permasalahan polusi dan degradasi lahan, pencemaran air, penyingkapan batuan karst, runtuhan lahan, banjir, dan kekeringan.
“Interaksi antara sifat dasar batuan karbonat dengan tekanan dari aktivitas alam dan manusia mengakibatkan ekosistem karst menjadi rentan,” tuturnya.
Upaya perlindungan sumber daya air tanah karst Gunungsewu terhadap pencemaran, jelasnya, memerlukan suatu model penilaian kerentanan dan risiko yang tepat, efisien, mudah diaplikasikan dan dapat dilakukan secara berulang dengan waktu yang cepat. Data penginderaan jauh dan sistem informasi geografis ia yakini memiliki kemampuan yang besar dalam permasalahan ini.
Dalam disertasinya, Eko mengkaji karakteristik spektral dan tingkat kerentanan pada area amatan penelitian, parameter dan model penilaian kerentanan dan risiko air tanah karst terhadap pencemaran, serta zonasi kerentanan dan risiko air tanah karst terhadap pencemaran serta model arahan pemanfaatan lainnya.
“Secara praktis atau terapan hasil penelitian ini diharapkan memberikan gambaran yang aktual tentang kondisi kerentanan dan risiko air tanah karst Gunungsewu terhadap pencemaran air tanah karst,” jelas dosen pendidikan geografi di Universitas Negeri Surabaya ini.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa terdapat perbedaan karakteristik spektral dan tingkat kerentanan di wilayah penelitian. Area tangkapan mata air Sanglor 2, Ngobaran, Puring, Selonjono, Kalicacahan dan Mudal dinyatakan memiliki tingkat kerentanan tinggi, sedangkan area tangkapan mata air Cerme dan Pok Tunggal memiliki tingkat kerentanan sedang. Sementara itu, area tangkapan mata air Slulu dinyatakan memiliki tingkat kerentanan rendah.
Selain memberikan gambaran mengenai kondisi kerentanan pencemaran, penelitiannya ini juga menghasilkan model penilaian kerentanan dan risiko pencemaran air tanah karst serta bentuk arahan kegiatan pemanfaatan lahan dari masing-masing kawasan tersebut.
Berdasar perhitungan nilai kerentanan dan indeks risiko, pemanfaatan lahan di area karst Gunungsewu diarahkan sebagai kawasan perlindungan fungsi lahan, kawasan peningkatan fungsi lahan, kawasan pemulihan fungsi lahan, dan kawasan pemeliharaan fungsi lahan.
“Analisis model menunjukkan bahwa sebagian besar area karst Gunungsewu harus diarahkan sebagai kawasan pemeliharaan fungsi lahan,” pungkas Eko. (Humas UGM/Gloria)