Strategi komunikasi yang tepat melalui pendekatan budaya dapat mengubah sikap dan kebiasaan makan pangan lokal menjadi lebih meningkat.
Hal ini diutarakan mahasiswa program doktor Sekolah Pascasarjana UGM, Mohamad Zulkarnain Yuliarso, saat mempertahankan disertasinya yang berjudul “Strategi Komunikasi, Ketersediaan dan Akses, Budaya, dan Sikap sebagai Determinan Faktor Kebiasaan Makan Pangan Lokal di Kabupaten Bengkulu Utara” pada Rabu (31/1).
“Strategi komunikasi yang dilakukan dalam kegiatan diversifikasi pangan lokal haruslah menyesuaikan dengan situasi sosial dan budaya yang ada di masyarakat,” tuturnya.
Upaya membangun kebiasaan makan pangan lokal rumah tangga sendiri merupakan salah satu bentuk diversifikasi pangan untuk mengatasi tantangan pemenuhan kebutuhan pangan pokok seiring dengan pertambahan jumlah penduduk yang pesat.
Perilaku konsumsi di tingkat rumah tangga yang tercermin melalui kebiasaan makan, ujarnya, akan sangat menentukan keberhasilan diversifikasi pangan secara nasional. Selain mampu memproduksi, diharapkan rumah tangga petani juga dapat memanfaatkan apa yang mereka produksi sebagai bahan pangan pokok.
“Kebiasaan makan merupakan cara bagaimana rumah tangga memilih pangan dan mengonsumsinya sebagai reaksi terhadap pengaruh berbagai faktor, di antaranya adalah faktor psikologis, lingkungan, kondisi sosial ekonomi, ketersediaan dan akses terhadap sumber pangan lokal, budaya masyarakat setempat, dan penyuluhan melalui program-program terkait konsumsi pangan,” jelasnya.
Dalam penelitiannya ia menemukan bahwa lebih dari 50% rumah tangga di Kabupaten Bengkulu Utara memiliki kebiasaan makan pangan lokal yang rendah. Namun demikian, rumah tangga sudah mulai membiasakan diri dengan sesekali mengonsumsi pangan lokal, seperti singkong, ubi jalar dan jagung.
Lebih lanjut ia menjelaskan, dalam implementasi program Percepatan Penganekaragaman Konsumsi Pangan (P2KP) oleh Pemerintah Provinsi Bengkulu, strategi komunikasi tidak secara signifikan memengaruhi sikap terhadap kebiasaan makan pangan lokal. Tidak berpengaruhnya strategi komunikasi secara signifikan dikarenakan tidak semua saluran yang digunakan dalam usaha membangun kebiasaan makan pangan lokal rumah tangga bekerja dengan baik.
“Media massa dipersepsikan sebagai saluran yang tidak memberikan kontribusi dalam penyebaran informasi diversifikasi pangan lokal. Penyebaran informasi lebih didominasi melalui getok tular atau word of mouth communication,” imbuh dosen Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu ini.
Karena itu, ia merekomendasikan agar strategi komunikasi yang dilakukan menyesuaikan dengan situasi sosial dan budaya masyarakat serta memunculkan kembali simbol-simbol budaya pangan lokal yang pernah tumbuh dan berkembang di masyarakat. Strategi ini diwujudkan misalnya dengan mengadakan festival atau gelar budaya pangan lokal di setiap desa serta menggunakan media transformasi berupa budaya dan kesenian tradisional.
Selain itu, ia juga menekankan perlunya melakukan penyebaran informasi melalui media massa untuk membangun kesadaran secara massal dengan turut mengoptimalkan peran opinion leader untuk mengubah sikap dan kebiasaan makan masyarakat.
“Sosialisasi diversifikasi pangan lokal yang kontinu melalui berbagai program haruslah dapat dilakukan secara berkoordinasi dengan berbagai stakeholders dengan dukungan kebijakan pemerintah daerah, dan teknologi pengolahan pangan yang tepat,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)