Sesaji sebagai sarana dalam ritual pawiwahan merupakan penanda pikiran dan perasaan manusia sebagai ungkapan rasa bakti kepada Tuhan. Ungkapan tersebut berbentuk doa dan harapan yang diwujudkan secara visual dan dikomunikasikan secara religius kepada kekuatan positif dan negatif alam dan Tuhan agar mempelai mendapat kesejahteraan hidup lahir dan batin.
Demikian disampaikan Drs AAK Suryahadi, Med.C.A saat ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Jum’at, (23/3). Promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Seni Sesaji Ritual Pawiwahan di Kabupaten Karangasem Baliâ€, dengan bertindak selaku promoter Prof Dr RM Soedarsono dan Kopromotor Prof Dr Kodiran MA serta Prof Drs SP Gutami.
“Dengan demikian seni sebagai bagian dari budaya manusia memiliki hubungan erat dengan agama dan kepercayaan, kehidupan ekonomi, sosial dan alam. Kelestariannya sejalan dengan eksistensi agama, masyarakat dan alam,†ujar Suryahadi.
Menurutnya, sesaji pawiwahan yang dibuat dan digunakan masyarakat Hindu di kabupaten Karangasem Bali memiliki makna, tujuan dan fungsi sebagai sarana, permohonan keselamatan, persaksian, pembersihan secara niskala terhadap sukla dan swanita kedua mempelai agar mendapat keturunan yang suputra, bahagia lahir batin dalam mbenempuh kehidupan berumahtangga.
Namun, seiring perubahan masyarakat dari agraris ke industri, masyarakat cenderung memerlukan hal-hal praktis. Sebagai akibatnya, pembuatan sesaji tidak lagi bersifat sosial tetapi berubah kearah komersial.
“Oleh karena itu untuk menjaga kesakralan sesaji sebagai aspek penting dalam pelaksanaan ritual Agama Hindu Dharma, perlu ada pencerahan dari yang berwenang. Dalam hal ini kelembagaan Agama Hindu Dharma kepada masyarakat khususnya pembuat sesaji yang digunakan dalam setiap ritual,†tambah penerima penghargaan Pratisara Affandi Adhikarya tahun 1981 ini dalam sarannya.
Selain itu dirinya menilai generasi muda semakin kehilangan kesempatan untuk mengetahui dan membuat sesaji. Yaitu, dengan semakin berkembangnya intelektualitas Umat Hindu yang lebih menekankan tattwajnana dalam melaksanakan ajaran agama, yang memungkinkan mengurangi intensitas pembuatan sesaji di masyarakat. Kondisi ini berakibat pula semakin berkurangnya penggunaan sesaji dalam suatu ritual.
“Oleh sebab itu, pihak yang berwenang dalam Agama Hindu Dharma dalam hal ini parisada sebagai majelis tertinggi Umat Hindu, perlu secara aktif menyikapi masalah tersebut dengan solusi yang tepat sesuai dengan perkembangan jaman, dengan tidak menghilangkan seni dan budaya, namun tetap melaksanakan ajaran agama sesuai dengan tatwa yang digariskan,” tandas pria kelahiran Amlapura Karangasem Bali 10 april 1953.
Kata Suryahadi, seni sesaji yang sakral dan baku sebagai bagian dari ritual dapat ditransformasikan bentuk dan fungsinya sebagai seni profan, sehingga seni sesaji tersebut dapat memberikan andil dalam perkembangan seni. “Tidak hanya di Bali, namun juga di daerah lain sebagai salah satu seni yang menunjang perekonomian rakyat,†tandas Suryahadi, Widyaiswara PPPG Kesenian Yogyakarta/PPPPTK Seni Budaya, yang dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude, sekaligus meraih gelar doktor dari UGM. (Humas UGM).