Perlindungan konsumen obat pada kerangka umum perlindungan dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia belum cukup melindungi.
Mahasiswa program doktor Fakultas Hukum UGM, Norma Sari, memaparkan berbagai celah dalam berbagai peraturan yang ada saat ini.
“Peraturan perundang-undangan di Indonesia belum sepenuhnya memberikan perlindungan kepada konsumen obat di Indonesia karena terbukti masih menyimpan beberapa celah yang menjadi titik kelemahan untuk diperbaiki,” ujarnya dalam ujian terbuka program doktor pada Rabu (31/1).
Salah satu celah perlindungan ia temukan dalam UU No. 25 Tahun 2007 tentang Penanaman Modal yang salah satu asasnya memberikan perlakuan equal but unfair antara investor luar negeri dengan dalam negeri. Hal ini, menurutnya, tidak sejalan dengan cita-cita kesejahteraan dan keadilan dalam UUD 1945.
Selain itu, Peraturan Presiden RI No. 44 Tahun 2016 tentang Daftar Bidang Usaha yang Tertutup dan Bidang Usaha yang Terbuka dengan Persyaratan di Bidang Penanaman Modal memberi peluang investor luar negeri menanamkan dananya 100% untuk investasi bahan baku obat.
“Dampak dari Perpres ini adalah investor dalam negeri akan semakin berat bersaing, harga bahan baku obat tetap dalam kendali investor asing dan pada akhirnya konsumen yang akan menanggung beban tersebut,” jelas Dosen Fakultas Hukum Universitas Ahmad Dahlan ini.
Dalam UU No. 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diberi tugas besar hulu-hilir produk halal tetapi posisi dan kewenangan terbatas. Hal ini berpotensi menimbulkan kesulitan dalam menjamin ketersediaan obat halal bagi konsumen.
Di samping celah-celah tersebut, ia menyebutkan kemajuan yang ditemukan dalam UU No. 13 Tahun 2016 tentang paten yang mewajibkan pemegang paten untuk membuat produk atau menggunakan proses di Indonesia dan menunjang transfer teknologi, penyerapan investasi, dan penyediaan lapangan kerja, serta UU No. 20 tentang Merek dan Indikasi Geografis yang memperberat hukuman berdasarkan pertimbangan aspek kesehatan dan ekonomi.
“Hal ini selaras dengan perlindungan konsumen obat yang digariskan konstitusi,” ucapnya.
Terkait perlindungan konsumen obat pada proses pra produksi dalam pengaturan perundang-undangan di Indonesia, ia menilainya sudah cukup melindungi dengan mengatur pemenuhan hak konsumen atas hak bahan baku obat yang standar, meski masih terdapat celah dalam Permenkes No. 87 tahun 2013 tentang Peta Jalan Pengembangan Bahan Baku Obat.
“Apabila kemandirian ditetapkan dalam UU Kesehatan, bukan hanya ketersediaan maka menjadi salah satu payung hukum untuk mengikat industri bahan baku obat dalam negeri dalam jangka panjang mencapai kemandirian. Konsumen obat akan semakin terakses dengan harga obat yang lebih terjangkau,” paparnya.
Untuk perlindungan konsumen obat pada proses produksi serta proses konsumsi, peraturan perundang-undangan Indonesia dalam dua hal ini ia nilai sudah melindungi. Namun, pada proses distribusi celah aturan masih ditemukan pada pengendalian gratifikasi bagi mereka yang tidak terkategorikan sebagai aparatur sipil negara.
Untuk itu, ia mengutarakan beberapa saran bagi pemerintah misalnya untuk melakukan sinkronisasi beberapa peraturan agar tidak bertentangan secara vertikal maupun horizontal, serta agar pelaku usaha obat mengambil tindakan yang adil, yakni memberikan apa yang menjadi hal konsumen obat dan menjalankan kewajibannya selaku pelaku usaha obat.
“Konsumen perlu berhati-hati dalam memperoleh obat dalam jalur distribusi serta dalam mengonsumsi baik melalui konsultasi maupun swamedikasi agar keselamatan dan kesehatan dirinya terjaga, juga perlu bersikap asertif dan berdaya di hadapan pelaku usaha agar hak sebagai konsumen obat terpenuhi,” jelas Norma. (Humas UGM/Gloria)