Tidak dapat disangkal Undang-Undang No 5 Tahun 1960 tentang Peraturan dasar Pokok-Pokok Agraria (UUPA), merupakan produk perundang-undangan yang mampu bertahan cukup lama, di tengah-tengah pergolakan sosial, politik dan beberapa rezim berkuasa di negeri ini. Meski mendapat beberapa kali desakan dengan dalih reformasi agraria, namun kenyataan UUPA hingga kini masih tegar, utuh dan sah berlaku di Indonesia.
Demikian pernyataan Prof Dr Sudjito SH Msi saat mengucap pidato pengukuhan sebagai Guru Besar Fakultas Hukum UGM, hari Rabu. (28/3), di ruang Balai Senat UGM. Dirinya menyampaikan orasi berjudul “Perkembangan Ilmu Hukum: Dari Positivistik Menuju Holistik dan Implikasinya Terhadap Hukum Agraria Nasionalâ€.
“UUPA memiliki akar yang kuat dan mendalam bagi kehidupan bangsa Indonesia. Berupa paradigma keilmuan yang dibangun dengan objek-garapannya meliputi bumi, air, ruang angkasa dan kekayaan alam terkandung di dalamnya, sebagaimana lazim disebut agraria,†ujar Prof Sudjito.
Kata Sudjito, tanpa harus mengurai pasal demi pasal, UUPA ini kiranya telah memberikan gambaran bahwa karakter holistik undang-undang ini sangat kuat. Selain itu, sangat potensial untuk menjelaskan, mengantisipasi dan memberikan solusi segala permasalahan hukum agraria di Indonesia.
“Ini bukan berarti UUPA telah sempurna dan anti perubahan,†tambah pria kelahiran Bantul 6 Februari 1954 ini.
Seiring dengan perkembangan ilmu hukum mutakhir, maka ke depan yang dibutuhkan adalah pemantapan karakter dari paradigma holistik. Caranya, yaitu dengan merubah pola pikir, wawasan dan sikap positivistik menjadi holistik.
Sekadar contoh kongkrit, kata Sudjito, adalah hubungan antara hukum adat dan hukum nasional. UUPA secara normatif sangat menghargai keberadaan hukum adat.
“Pasal 5 UUPA menyebutkan hukum agrarian yang berlaku diatas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat…Dengan pola pikir holistik, ketentuan pasal tersebut harus memaknai bahwa hukum adat merupakan bagian tak terpisahkan dari hukum nasional. Dalam keutuhannya, hukum nasional menjadi rusak ketika hukum adat sebagai bagian tak terpisahkan dari hukum nasional lemah. Oleh karena itu, kewajiban bagi segenap komponen bangsa untuk mempertahankan bahkan memperkuat hukum adat,†tandas suami Dra Hj Tatit Hariyanti M Hum, ayah Rahman Hakim Satria. (Humas UGM).