Implementasi penggunaan asas pembuktian terbalik dalam upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang selama ini dinilai tidak efektif. Hal ini disebabkan masih banyak ditemukan kelemahan-kelemahan dalam penggunaan asas pembuktian terbalik.
Beberapa kelemahan tersebut diantaranya jika terdakwa bisa membuktikan kekayaan yang ia peroleh bukan merupakan hasil kejahatan maka tidak otomatis ia dibebaskan. Hakim masih memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk menyampaikan apa yang disebut dengan “bukti lawan”.
Demikian disampaikan Kompol Martua Raja Taripar Laut Silitonga saat ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Hukum UGM, Kamis (8/2). Dalam ujiannya, Kasat Reserse Narkoba, Polresta Bandara Soekarno-Hatta ini mempertahankan disertasi “Penggunaan Asas Pembuktian Terbalik Dalam Tindak Pidana Pencucian Uang”, dengan didampingi promotor Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum dan ko-promotor Prof. Dr. Nurhasan Ismail, S.H., M.Hum.
Martua Raja Taripar mengungkapkan jika terdakwa tidak bisa membuktikan harta kekayaan yang dimiliki bukan dari hasil tindak pidana maka hakim memberikan kesempatan kepada jaksa penuntut umum untuk menyampaikan bukti bila harta kekayaan yang diperoleh terdakwa merupakan hasil kejahatan. Hal ini untuk memperkuat pendapat hakim bahwa terdakwa telah melakukan tindak pidana dengan salah satu predicate crime yang ada dalam ketentuan UU TPPU.
“Berdasarkan kelemahan-kelemahan dalam penggunaan asas pembuktian terbalik dapat disimpulkan jika penerapan asas pembuktian terbalik dalam beberapa kasus dengan titik fokus kajian-kajian yang ada dalam UU TPPU masih dirasa kurang optimal. Bahkan, dalam beberapa kasus masih ada ‘keraguan’ dalam penerapannya,” ungkap Martua.
Ketidakoptimalan tersebut, menurut Martua Raja, antara lain berkaitan dengan masalah apakah kejahatan asal (predicate offense/ crime) harus dibuktikan terlebih dahulu atau tidak. Sementara bentuk atau susunan dakwaan pembalikan beban pembuktian dapat disimpulkan bila penggunaan asas pembuktian terbalik dapat dikatakan tidak efektif.
“Karena itu diperlukan penerapan asas dan teori lain, yakni Economic Analysis of Law dan The New Separation of Power Theory. Penerapan Economic Analysis of Law ini harus dapat melihat beberapa teori dasar yang mampu menjelaskan tentang tindak pidana pencucian uang dengan tindak pidana asal korupsi,” tuturnya.
Di akhir disertasi, Martua Raja menyampaikan saran jika penegakan hukum tindak pidana pencucian selama ini memperlihatkan fakta yang tidak efektif maka pihak kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan sebagai komponen sistem peradilan pidana sudah seharusnya mulai mempersiapkan diri dan mengambil langkah dan kebijakan dalam proses penyidikan, penuntutan sebagai bagian dari upaya merumuskan suatu ketentuan peraturan perundang-undangan tentang Pembuktian Terbalik dalam rancangan KUHAP. Terlebih jika pihak kepolisian sebagai “garda terdepan” dalam strategi pemberantasan tindak pidana pencucian uang. (Humas UGM/ Agung)