Terhadap tingkat kerawanan pangan pada kondisi rumah tangga di tiga daerah Propinsi Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur dinilai bervariasi. Meski begitu, kondisi ketahanan pangan rumah tangga antara Propinsi Jawa Tengah dan Propinsi Nusa Tenggara Timur memiliki kecenderungan sama, yaitu rumah tangga yang rawan pangan lebih banyak dibandingkan dengan jumlah rumah tangga yang tidak rawan pangan.
Meski cenderung sama, situasi yang melatarbelakangi kondisi rumah tangga rawan pangan di Jawa Tengah berbeda dengan di NTT. Di Jawa Tengah sebagian rumah tangga petani memiliki kecenderungan untuk menjual hasil pertanian pasca panen. Karakteristik ekonomi penduduk Jawa Tengah dinilai lebih berorientasi ke pasar, sehingga tradisi menyimpan hasil pertanian dianggap tidak memiliki nilai lebih.
“Dengan kata lain, sebagian masyarakat Jawa Tengah beranggapan menyimpan hasil pertanian justru merugikan. Karena tidak ada kepastian harga jual dan tidak seimbang dengan ongkos yang dikeluarkan untuk proses penyimpanan hasil pertanian,†ungkap Umi Listyaningsih SSi MSi, saat memaparkan hasil penelitiannya bersama Dra Wini Tamtari MSi, pada seminar yang digelar Pusat Studi Kependudukan dan kebijakan UGM bertema “Ketahanan Pangan Rumah Tanggaâ€, di Magister Studi Kependudukan UGM, Kamis, (29/3).
Dari penelitiannya di Propinsi Jawa Tengah, Kalimantan Selatan dan Nusa Tenggara Timur, keduanya pada kesimpulan bahwa kondisi kerawanan pangan pada rumah tangga non petani jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan rumah tangga petani. Artinya, ketahanan pangan rumah tangga petani ditinjau dari aspek ketersediaan pangan kondisnya jauh lebih terjamin daripada rumah tangga non petani.
Namun demikian, kondisi rumah tangga petani di NTT lebih rawan dibanding dengan rumah tangga non petani. Melihat kondisi lahan pertanian di NTT, diakui cukup kritis, sehingga wajar kalau rumah tangga petani mengalami rawan pangan. Didaerah ini, hasil pertanian tidak dapat diandalkan untuk pemenuhan kebutuhan konsumsi sehari-hari.
“Bahkan beberapa kasus rumah tangga di daerah ini tidak bisa mengkonsumsi makanan pokok, dan terpaksa harus memasak bunga bangkai,†ujar Umi Listyaningsih, dosen Fakultas Geografi UGM.
Kata kedua peneliti, strategi mengganti bahan pangan utama dengan jenis bahan pangan lain tidak dijumpai di kalangan rumah tangga di Jawa Tengah dan Kalimantan Selatan. Hanya di Nusa Tenggara Timur, sebagian rumah tangga melakukan diversifikasi bahan pangan untuk mengganti bahan pangan utama.
“Oleh karena itu, pemerintah perlu mengefektifkan pola sosialisasi bahan pangan, karena sejauh ini kebijakan diversifikasi pangan masih dalam tataran konseptual dan baru sekedar wacana. Untuk mewujudkan hal tersebut perlu menggalakan kembali institusi-institusi local sebagai sarana sosialisasi,†tukas keduanya. (Humas UGM).