Penelitian terhadap Borobudur di waktu lalu, banyak dilakukan dari sudut pandang bidang sejarah, arkeologi, geografi, geologi, teknik dan pariwisata. Belum pernah penelitian terhadap Borobudur mengeksplorasi nilai manfaat ekonomi saujana budaya (cultural landscape) Kawasan Borobudur sebagai pendukung kebijakan manajemen pelestariannya.
Demikian disampaikan Staf pengajar STIE “Pariwisata API†Jogjakarta Amiluhur Suroso SE MM Msi saat ujian doktor di Sekolah Pascasarjana UGM, Kamis, (29/3). Promovendus mempertahankan desertasi berjudul “Penilaian Kawasan Pusaka Borobudur Dalam Kerangka Perspektif Multiatribut Ekonomi Lingkungan dan Implikasinya Terhadap Kebijakan Manajemen Ekowisata†dengan bertindak selaku promoter Prof Dr Shalihuddin Djalal Tandjung MSc dan ko-promotor Prof Dr Dibyo Prabowo MSc serta Dr Laretna Trisnantari Adishakti M Arch.
Candi Borobudur yang masuk daftar pusaka dunia sejak tahun 1991, kata Amiluhur, dalam pelestariannnya perlu mengikutsertakan keseimbangan aspek biogeofisik dan kultural. Kelestarian candi, katanya, tidak dapat dijamin hanya dengan memberikan pagar disekelilingnya, namun harus diperhatikan ekosistim di sekitarnya.
“Nilai manfaat ekonomi (eksistensi, pilihan, warisan) yang diberikan Borobudur tidak sebatas dalam bentuk menikmati rekreasi di situs candi secara aktif, namun secara pasif dalam penggunaan ekosistim penyangga kelestarian jangka panjang, misalnya keindahan pemandangan beserta budaya manusia yang mengisinya,†ujar Amiluhur Suroso.
Dari hasil penelitian Amiluhur terungkap, zonasi pelestarian Borobudur yang ada saat ini terfokus pada monumen, situs material, artefak dan komponen fisik, bersifat sentralistik serta menekankan penggunaan pariwisata massal. “Dengan demikian manajemen pelestarian yang diterapkan belum sesuai, sehingga perlu dirubah dengan mengintegrasikan dan melindungi integritas saujana budayanya,†tandas pria kelahiran Jogjakarta 21 April 1964 ini.
Kata Amiluhur, kelestarian Candi Borobudur akan tergantung pada kebijakan pembangunan yang berkelanjutan dan lingkungan hidup yang lestari. Oleh karena itu, dirinya mengusulkan pentingnya melakukan edukasi pada pelestarian lingkungan dengan menempatkan masyarakat sebagai pusat pengelola.
“Yaitu menggunakan model manajemen pelestarian berdasar konsep holistic, mensinergikan kepentingan manusia dan alam dengan mengintegrasikan pelestarian secara top down dan bottom up dalam perencanaan pusat dan daerah,†tukas anggota Tim Revitalisasi Kotagede Pasca Gempa.
Selain itu, dirinya mengusulkan mintakat pelestarian kawasan Borobudur yang baru, dengan mengalokasikan empat bagian yang diberi nama ekomuseum, malar, trubus dan rumbai dan menerapkan manajemen ekowisata. “Paradigma pariwisata massal yang digunakan selama ini perlu diubah menjadi ekowisata karena borobudur merupakan ‘centre of excellence’ tempat pembelajaran dan pencerahan, bukan sekedar ‘centre of tourism,†jelas suami Ir Sutaryani MM ayah satu putri, yang dinyatakan lulus sekaligus meraih gelar doktor ilmu lingkungan UGM. (Humas UGM)