Wayang purwa sebagai pertunjukkan berisi tontonan, tuntunan dan tatanan. Sebagai tontonan, wayang telah teruji sejak zaman dahulu hingga kini.
Wayang dapat ditonton oleh semua lapisan masyarakat dan kandungan tuntunannya sangat luas serta beragam. Mulai dari nilai religius, falsafah hingga nilai-nilai praktis.
“Seperti nilai budi pekerti untuk menuntun sikap dan perilaku manusia dalam upaya membangun karakter dan tugas dalang dituntut mampu menjadikan wayang sebagai tontonan sekaligus tatanan dan tuntunan,” ujar Drs. Afendy Widayat, M.Phil, di Fakultas Filsafat UGM, Rabu (14/2).
Menurut Afendy dengan menyenangi wayang dan sering mendapatkan piwulang berupa ajaran-ajaran moral maka karakter orang diharapkan semakin terbentuk menjadi baik. Sebab, menurut Afendy, proses pendidikan karakter merupakan kondisi dinamis struktur antropologis individu yang tidak sekadar berhenti atas determinasi kodrati, melainkan sebuah usaha untuk hidup semakin integral mengatasi determinasi alam dalam dirinya demi proses penyempurnaan diri secara terus-menerus.
“Karakter bukanlah produk sudah jadi, namun sebuah proses sekaligus hasil yang terus-menerus berlangsung menuju kesempurnaan,” katanya saat ujian terbuka Program Doktor Ilmu Filsafat UGM.
Mempertahankan disertasi Lakon Banjaran Anoman Sajian Ki Timbul Hadiprayitno Dalam Perspektif Etika: Relevansinya Dengan Pendidikan Karakter, Afendy menerangkan Lakon Banjaran Anoman sajian Ki Timbul pada intinya menceritakan biografi tokoh Anoman sejak lahir hingga kematian. Di sini tokoh Anoman menjadi tokoh teladan dalam hal moralitas.
Menurut Afendy, meski berwujud kera, namun Anoman mulia seperti manusia. Bahkan, Anoman digambarkan sepi ing pamrih, rame ing gawe.
“Tokoh-tokoh lainnya juga menjadi contoh figur-figur yang perlu dicermati moralitasnya karena sebagiannya tidak sekadar tokoh hitam-putih,” katanya.
Alasan pemilihan lakon Banjaran Anoman sebagai objek material penelitian, kata Afendy, karena lakon Banjaran Anoman banyak menyampaikan nilai-nilai moral atau nilai-nilai etis. Nilai-nilai etis tersebut relevan sebagai nilai-nilai yang seharusnya diterapkan oleh setiap warga negara, bahkan jika perlu ditularkan pada generasi akan datang sehingga layak untuk diteliti dan disosialisasikan hasilnya.
“Alasan dipilihnya Ki Timbul Hadiprayitno karena Ki Timbul dalang yang tidak diragukan lagi kemampuannya dalam menyajikan tontonan, tuntunan dan tatanan dalam pertunjukkan wayang purwa,” ucap Afendy Widayat, dosen Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Yogyakarta didampingi promotor Dr. Arqom Kuswanjono dan ko-promotor Prof. Dr. Kasidi Hadiprayitno, M.Hum.
Afendy menambahkan nilai-nilai etis yang disajikan oleh Ki Timbul Hadiprayitno sebagai dalang favorit dan piawai perlu dikaji dalam relevansinya dengan realitas masyarakat Indonesia saat ini. Sebab, realitas yang terjadi di tengah masyarakat dalam hubungan dengan permasalahan moralitas saat ini sangatlah memprihatinkan.
Berbagai berita, baik melalui media cetak maupun elektronik memperlihatkan banyak kasus-kasus bermuatan pelanggaran moral hingga menjadi permasalahan hukum. Tidak sedikit tokoh masyarakat yang melakukan pelanggaran moral hingga ditangkap dan dimejahijaukan.
“Oknum-oknum tokoh partai, oknum kepala daerah atau mantan kepala daerah, oknum pejabat, oknum pendidik dan lain-lain yang semestinya menjadi teladan atau panutan, justru malah melakukan pelanggaran moral,” imbuhnya.
Oleh karena itu, ia berharap ada langkah-langkah lebih lanjut para cendekia dalam menyelamatkan lakon-lakon wayang purwa dengan menginventarisasi. Terutama wayang yang disajikan oleh dalang yang menekankan tuntunan dan tatanan yang sarat akan muatan nilai etis. (Humas UGM/ Agung)