Perpustakaan saat ini berperan strategis di perguruan tinggi. Oleh karena itu, pustakawan perlu menyadari posisinya sebagai pengelola sumber daya informasi di universitas yang bukan sekadar koleksi perpustakaan, namun merupakan produk budaya yang diciptakan dengan segala kepentingannya.
Dosen di Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi Universitas Indonesia (UI), Luki Wijayanti, mengatakan hal itu saat ujian terbuka Program Doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media di Sekolah Pascasarjana UGM Yogyakarta, Rabu (28/2) lalu. Luki dalam ujiannya mempertahankan disertasi berjudul “Perpustakaan Sebagai Arena Kontestasi Kepentingan: Studi Kasus Pengelolaan American Corner d Universtias Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta”.
Luki menyebut kepedulian pustakawan sebagai agen yang mendistribusikan informasi untuk kepentingan penggunanya harus ditunjukkan dengan sikap kritis terhadap pengelolaan perpustakaan. Manajeman perpustakaan yang selama ini fokus pada proses pengadaan, pengolahan dan pelayanan sumber daya informasi harus diperkaya dengan berbagai pemahaman mengenai masalah-masalah sosial, politik dan budaya dalam tata kelola perpustakaan.
Kepala Perpustakaan Fakultas Sastra dan Perpustakaan Pusat UI ini mengatakan mengelola perpustakaan bukan sekadar mengelola bahan perpustakaan dan fasilitasnya untuk dilayankan kepada penggunanya. Namun, juga mengelola penggunanya yakni sivitas akademika universitas yang merupakan generasi muda penerus bangsa.
“Pustakawan universitas perlu menyadari bahwa mereka merupakan mitra dosen dalam mengembangkan kemampuan akademi dan kemampuan personal mahasiswa,” katanya.
Karena itu, lanjutnya, sikap kritis pustakawan perlu terus dikembangkan dengan mempelajari berbagai ilmu yang relevan untuk kajian bidang perpustakaan dan informasi maupun dalam hal praktik tata kelola perpustakaan.
Berbicara tentang peran pustakawan di Indonesia disebutkannya jarang sekali ditemukan teori atau konsep yang secara langsung mengaitkannya dengan politik. Menurutnya, pustakawan Indonesaia terkesan terlalu hati-hati menempatkan dirinya dalam konteks kehidupan bernegara, tapi juga tidak berani memosisikan dirinya di dalam ranah politik.
“Keberadaan corner-corner di perguruan tinggi misalnya, menandakan bahwa pustakawan hanya dapat menjalankan kebijakan universitas, sekalipun dalam proses penentuan kebijakan tersebut pustakawan tidak dilibatkan,” katanya.
Dari pengamatan Luki, American Corner (Amcor) yang dikelola non pustakawan terlihat lebih aktif karena mereka berani melibatkan mahasiswa sebagai relawan sehingga tugas rutin pustakawan tidak terganggu.
“Bagi pustakawan rutinitas ini memang sering menjadi prioritas sehingga terkesan kurang kreatif,” paparnya.
Luki mengakui banyak pustakawan yang tidak tertarik merancang kegiatan-kegiatan di luar rutinitas karena menganggap kegiatan rutin, seperti pengadaan, pengolahan dan pelayanan sirkulasi lebih penting. Padahal, perpustakaan tidak sekadar hanya soal buku-buku, sirkulasi dan pelayanan, namun perpustakaan merupakan pusat kegiatan.
“Artinya, pustakawan perlu menyadari bahwa di belakang semua koleksi dan semua program itu ada misi tertentu,” papar Luki Wijayanti. (Humas UGM/ Agung)