Organisasi Standar Internasional (ISO) secara resmi menetapkan Sistem Peringatan Dini Longsor (LEWS) dari Indonesia untuk diterbitkan sebagai ISO 22327. Dengan demikian, LEWS yang dikembangkan oleh Universitas Gadjah Mada bersama Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) dan Badan Standardisasi Nasional (BSN) terpilih sebagai rujukan internasional dalam mitigasi bencana khususnya longsor. Penyerahan sertifikat ISO ini dilaksanakan di kantor Rapat Pleno ISO Sydney, Australia, Jumat (13/6).
Keberhasilan mendapatkan ISO 22327 tidak lepas dari usaha Tim peneliti LEWS UGM yang beranggotakan Prof. Teuku Faisal Fathani, Prof. Dwikorita Karnawati dan Dr. Wahyu Wilopo yang sudah mengajukan LEWS untuk bisa ditetapkan sebagai rujukan dalam sertifikasi internasional. Kepada wartawan, salah satu anggota tim peneliti, Prof. Teuku Faisal Fathani, Ph.D., mengatakan ia menyambut gembira dengan ditetapkannya LEWS sebagai standar penanggulangan longsor yang diakui di tingkat internasional. Keberhasilan mendapatkan ISO 22327 menurutnya merupakan buah dari hasil perjuangan panjang dari apa yang mereka lakukan selama ini dalam mengembangkan alat deteksi longsor. “Apa yang kita raih ini merupakan hasil perjuangan panjang,” kata Faisal saat dihubungi masih berada di Australia.
Ia menuturkan sejak 2006 UGM sudah mengembangkan alat-alat pemantau longsor sederhana bekerja sama dengan BNPB dan Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi. “Sistem ini terus berkembang hingga kini sudah terpasang di 30 propinsi dan di luar negeri,” katanya. Sampai tahun 2014, kata Faisal, sistem ini mulai dirumuskan sebagai SNI.
Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Willem Rampangilei, menyampaikan capaian ini sebagai bentuk kontribusi Indonesia dalam berbagi pengetahuan dan pengalaman kepada dunia untuk menyelamatkan masyarakat dari ancaman bahaya longsor. “Mari menciptakan bumi yang aman dari bencana untuk generasi mendatang,” kata Willem dalam rilis yang dikirim oleh Humas BNPB pada hari yang sama.
Ia menilai hal ini sama sekali tidak hanya fokus pada perangkat yang berdiri sendiri, namun pada akhirnya sistem ini bisa saling terkait sebagai suatu sistem peringatan dini yang efektif. Menurutnya, komunitas sangat penting sebagai bagian inti dari sistem tersebut karena mereka yang akan terlibat. “Komunitas harus menjadi bagian dari sistem dan harus paham bagaimana cara kerja,” ujarnya.
Bagi BNPB hal ini nantinya bisa menjadi penggabungan wujud Indonesa sebagai laboratorium bencana dunia. Di samping itu, industri kebencanaan dapat tumbuh dan berkontribusi untuk melindungi masyarakat dari dampak bencana sehingga berdampak positif dalam pembangunan ekonomi yang berkelanjutan.
Seperti diketahui, LEWS ini telah diuji cobakan di lebih dari 150 lokasi di Indonesia. LEWS ini diharapkan bisa terus bermanfaat dalam penanggulangan ancaman bahaya longsor di Indonesia. Lebih dari 40 juta masyarakat di 274 kabupaten / kota terpapar bahaya longsor. Longsor sendiri merupakan bencana paling mematikan di Indonesia. (Humas UGM / Gusti Grehenson; foto: Faisal F)