Angka kematian neonatal, bayi dan balita sangat bervariasi pada setiap negara. Di beberapa negara berkembang angka kematian bayi masih tergolong tinggi, termasuk Indonesia.
Bahkan, kematian bayi umur muda (1 hari hingga kurang dari 2 bulan) relatif lebih tinggi dibanding pada umur yang lebih tua baik pada kondisi tanpa penyulit maupun dengan penyulit, seperti BBLR, asfiksia, hipotermia, diare, sepsis dan sebagainya. Oleh karena itu, perhatian terhadap upaya penurunan angka kematian neonatal (0-28 hari) menjadi sangat penting karena kematian neonatal memberi kontribusi terhadap 65 persen kematian bayi.
Menurut Dewi Marianthi penanganan neonatal ini bisa dilakukan kapada neonatal sakit atau neonatal dengan kelainan atau komplikasi/ kegawat daruratan. Mereka harus mendapat pelayanan sesuai standar oleh tenaga kesehatan (dokter, bidan dan perawat) terlatih, baik di rumah, sarana pelayanan kesehatan dasar maupun sarana pelayanan kesehatan rujukan.
“Pelayanan itu harus sesuai standar, standar MTBM, manajemen asfiksia bayi baru lahir, manajemen BBLR, pedoman pelayanan neonatal esensial di tingkat pelayanan kesehatan dasar dan standar operasional pelayanan lainnya. Semua harus mendapatkan perhatian,” ujar Dewi, di Auditorium Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Selasa (20/3).
Menurut Dewi penanganan bayi muda yang sehat harus ditingkatkan di masyarakat karena budaya dan kebiasaan di masyarakat menjadi faktor yang memengaruhi derajat kesehatan.
Sementara itu, para kader kesehatan dinilai memiliki peran penting dalam mengelola MTBM di masyarakat. Dengan model pendekatan budaya ini diyakini dapat meningkatkan pengetahuan, sikap dan keterampilan kader.
“Kader yang sadar budaya, berpengetahuan budaya, berkopetensi budaya dan sensitif budaya menjadi prioritas utama dalam pelaksanaan manajemen terpadu bayi muda berbasis masyarakat, meskipun pada kenyataannya program ini belum terlaksana di Indonesia, terutama di Aceh,” ucap Dewi saat menempuh ujian terbuka Program Doktor di FKKMK UGM.
Dewi berharap peningkatan kompetensi budaya pada kader dalam pelaksanaan MTBM di masyarakat dapat meningkatkan pengetahuan, efikasi ibu dalam merawat bayinya. Dengan begitu maka diharapkan kualitas hidup ibu post partum menjadi meningkat pula.
“Berdasar asumsi tersebut maka dalam penelitian ini adalah bagaimanakah model MTBM dirancang melalui pendekatan budaya Aceh terhadap kompetensi kader kesehatan dalam pelaksanaan MTBM berbasis masyarakat. Harapannya dapat memberi dampak kepada ibu post partum di kota Banda Aceh,” kata Dewi yang bekerja di Instansi Politeknik Kesehatan Kemenkes Aceh itu.
Mempertahankan disertasi Model Manajemen Terpadu Bayi Muda (MTBM) Berbasis Masyarakat Melalui Pendekatan Budaya di Aceh, Dewi menjelaskan penelitian yang ia lakukan dengan menggunakan mixed methods dengan pendekatan eksploratory sequential design. Tahap pertama penelitian kualitatif dengan pendekatan etnografi yang bertujuan mengeksplorasi budaya Aceh yang berhubungan dengan ibu post partum dan bayi baru lahir serta mencari model intervensi manajemen terpadu bayi muda (MTBM) berbasis masyarakat.
“Tahap kedua adalah pelaksanaan MTBM di masyarakat dengan menggunakan pendekatan penelitian kuantitatif yang dikembangkan dengan metode quasi experiment. Adapun proses pelaksanaan MTBM diawali dengan pelatihan MTBM pada fasilitator kemudian pada kader kesehatan,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)