Habiburrahman El Shirazy menjadi salah satu pengarang sastra Indonesia yang populer dalam belasan tahun terakhir berkat beberapa karya, seperti Ayat-Ayat Cinta (2004), Ketika Cinta Bertasbih (2007), serta Dalam Mihrab Cinta (2010).
Kesuksesannya dalam menembus pasar karya sastra Indonesia dipengaruhi oleh berbagai hal, salah satunya berkat keberhasilannya dalam menempatkan karyanya di tengah arena kekuasaan di Indonesia yang tengah mengalami perubahan.
“Habiburrahman El Shirazy hadir bukan dari kalangan sastra legitimit. Ia berasal dari kalangan santri sehingga keberhasilannya tersebut ditengarai sebagai akibat telah terjadinya perubahan pada struktur arena sastra dan arena kekuasaan di Indonesia,” ujar Dedi Pramono saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (21/3).
Arena kekuasaan pada Ayat-ayat Cinta, misalnya, melingkupi isu pada kutub yang saling bertentangan, seperti hubungan antara kaya dan miskin, hubungan muslim dan non-muslim, pria dan wanita, kesalehan dan sekulerisasi, serta hubungan keadilan dan ketidakadilan, yang melingkupi wilayah sosial-agama, hukum-agama, dan politik-hukum.
“Dalam posisi demikian, agen utama cerita ditempatkan sebagai figur penengah yang dapat memecahkan problematika tersebut dengan cara menyejukkan,” imbuh dosen Universitas Ahmad Dahlan Yogyakarta tersebut.
Dalam segi isi, jelas Dedi, Novel Habiburrahman El Shirazy menolak radikalisme agama. Penolakan tersebut berbentuk pembelaan terhadap orang non-muslim yang diperlakukan sewenang-wenang dan berperan meluruskan kesalah pahaman tentang pelaksanaan syariat agama yang dianggap sebagai beban.
“Wajah Islam yang ditawarkan dalam produksi kulturalnya tersebut adalah Islam yang penuh kedisiplinan dalam mencari ilmu, taat dalam beribadah, ramah dalam pergaulan, penuh aroma cinta dalam bersahabat, memuliakan pernikahan, dan membangun ketangguhan dalam ketidakadilan,” jelasnya.
Dilihat dari sisi kesusastraan, karya Habiburrahman El Shirazy hadir di dalam kondisi arena sastra Indonesia yang mempertentangkan dua kutub, yaitu kutub sastra serius dan sastra populer. Sebagai seorang sastrawan yang relatif baru, Habiburrahman mampu meloloskan karyanya menjadi buku terlaris di masyarakat dengan pertaruhan modal dan kemampuan berstrategi.
Sadar bahwa popularitas yang ia raih berjangka pendek maka untuk memperpanjang popularitasnya Habiburrahman menggunakan strategi trajektori berupa aktivitas pertemuan diskusi dan transformasi dari novel ke film, serta strategi reproduksi dengan karya-karya baru.
“Strategi trajektori dan reproduksi tidak berbeda seperti yang dilakukan penulis lain seperti Andrea Hirata, yang kemudian novelnya hadir dalam wujud film dan reproduksi novel-novel baru lainnya,” kata pria kelahiran Cirebon ini.
Keluasan aktivitas trajektorinya yang menjangkau seluruh wilayah Indonesia bahkan hingga luar negeri dipengaruhi oleh strateginya menggunakan komunitas sastrawan muda muslim, Forum Lingkar Pena (FLP). Hal ini berdampak besar bagi perolehan akumulasi modal ekonomi yang besar, modal sosial yang makin luas, modal kultural dalam hal pengetahuan kesastraan yang makin intensif, juga memperoleh akumulasi modal simbolik dengan sebutan “novelis Islami pembangun jiwa.” Hal inilah yang akhirnya menjadi salah satu pendongkrak kesuksesannya.
“Habiburrahman El Shirazy merasa tidak perlu melakukan pembaharuan dalam bentuk dan isi sastra, sebagai salah satu syarat perolehan legitimasi spesifik tersebut. Ia lebih berjuang agar karyanya banyak dibaca orang dengan tujuan pembaca makin teguh dalam beribadah dan santun dalam bermuamalah, sesuai tujuan dari sastra dakwah,” kata Dedi. (Humas UGM/Gloria)