Pakar konservasi satwa liar dari UGM, Dr. Muhammad Ali Imron, S.Hut., M.Sc., menyebutkan pentingnya edukasi terkait penanganan satwa liar bagi masyarakat dan perusahaan yang beroperasi di kawasan hutan untuk mencegah konflik antara manusia dan satwa.
Hal tersebut penting dilakukan mengingat belum lama ini terdapat dua orang tewas diserang harimau di Riau. Seperti diberitakan sebelumnya, Bonita, Harimau Sumatera, di Indragiri, Riau menewaskan Jumiati (33), pekerja perusahan sawit PT. Tabungan Haji Indo Plantation di awal Januari 2018 dan Yusri Effendi (34) warga Indragiri Hilir pada awal Maret 2018.
“Edukasi mitigasi konflik manusia dengan satwa liar termasuk harimau ini penting dilakukan sebagai antisipasi untuk mencegah konflik antara manusia dan satwa,” tegasnya saat ditemui di ruang kerjanya, Rabu (21/3).
Pendidikan penanganan satwa liar perlu diberikan untuk memberikan pemahaman bagi masyarakat terkait apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan ketika bertemu dengan satwa liar. Menurutnya, manusia sering menunjukkan reaksi yang keliru saat berhadapan dengan satwa. Reaksi spontan yang muncul seperti berlari membelakangi harimau justru memicu harimau untuk melakukan penyerangan.
“Diusahakan untuk tidak panik, mundur pelan-pelan dan jangan berlari membelakangi harimau. Harimau itu tagetnya menerkam tengkuk mangsanya, jadi kalau posisinya membelakangi harimau pasti akan diserang,” papar dosen Fakultas Kehutanan UGM ini.
Menurut Imron, Indonesia bisa meniru cara India dalam menghadapi harimau. Di negara tersebut sudah ada panduan atau upaya antisipasi untuk menghadapi harimau.
“Di India orang yang bekerja di kawasan hutan dilengkapi dengan topeng wajah menghadap ke belakang,” ungkapnya.
Imron mengatakan penyerangan harimau terhadap manusia di Riau ini terjadi selain harimau tersebut bersifat agresif juga dimungkinkan tengah mencari daerah kekuasaan. Harimau muda sering menyerang salah satunya dikarenakan karena sedang mencari daerah kekuasaan.
Penyerangan terhadap manusia, kata dia, bisa terjadi karena kondisi harimau yang sakit atau pun tua sehingga mengalami penurunan kemampuan dalam mencari mangsa. Kondisi tersebut menjadikan harimau mencari mangsa yang relatif lebih mudah. Selain hal itu juga dikarenakan rusaknya habitat alami harimau akibat alih fungsi lahan.
“Karenanya sangat penting untuk memperbaiki habitat alami harimau untuk mengurangi konflik dengan manusia. Kalau habitatnya bagus dan mangsa buruannya banyak maka tidak akan menyerang manusia,” urainya.
Sementara dari sisi manusia, posisi saat beraktivitas di hutan seperti duduk ketika merumput juga memicu aksi penyerangan harimau. Sebab, dengan posisi rendah, manusia sering dianggap sebagai mangsa oleh harimau.
Melihat tingginya risiko konflik antara manusia dengan satwa di kawasan hutan, Imron mengingatkan kembali kepada masyarakat untuk selalu waspada saat beraktivitas di hutan. Sementara bagi perusahaan yang beroperasi di sekitar hutan, Imron menyebutkan perlu adanya prosedur keamanan dalam menghadapi satwa liar dan penerapan skema asuransi bagi pekerja yang bekerja di kawasan berisiko terhadap serangan satwa liar. (Humas UGM/Ika)