Kualitas asupan gizi menjadi salah satu faktor yang penting bagi penanganan pasien yang dirawat di Rumah Sakit. Oleh karena itu, rumah sakit perlu memperhatikan praktik penanganan makanan termasuk perilaku penjamah makanan.
“Rendahnya praktik pertugas gizi rumah sakit pada higienitas individu dan kurangnya pemantauan prosedur kerja meningkatkan risiko transmisi kuman patogen pada makanan,” tutur Daru Lestantyo saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat, dan Keperawatan UGM, Kamis (29/3).
Pada bidang kerja pengolahan makanan, telah diterapkan luas konsep hazard analysis and critical control point (HACCP) sebagai prosedur pengawasan proses produksi makanan untuk mencegah kontaminasi produk dari faktor lingkungan. Namun, salah satu keterbatasan di HACCP adalah belum adanya tinjauan faktor manusia sebagai salah satu faktor risiko kontaminasi.
Daru menjelaskan, praktik pekerja terhadap pengolahan makanan yang aman sangat berpengaruh terhadap kualitas makanan dan pencegahan infeksi nosokomial. Bakteri patogen dari telapak tangan berpindah melalui kontak dengan makanan dan berpotensi menyebabkan kejadian infeksi saluran cerna bagi pasien yang mengkonsumsi.
“Salah penanganan proses pengolahan makanan memberikan kontribusi sebesar 97% pada berbagai penyebab foodborne diseases. Karena itu pengetahuan, sikap maupun praktik keamanan makanan dan higienitas personal sangat berpengaruh,” jelas pengajar di Universitas Diponegoro ini.
Penanganan pengolahan makanan, menurutnya,dapat berintegrasi secara baik dengan program keselamatan dan kesehatan kerja (K3) Rumah Sakit mengingat dasar dan komponen yang ada memiliki kesamaan dengan beberapa aspek K3. Hal ini memerlukan dukungan dari manajemen rumah sakit di antaranya dengan pemberian fasilitas alat pelindung diri maupun memfasilitasi pelatihan.
Ia menambahkan, rendahnya komitmen rumah sakit akan berdampak pada tingkat kepatuhan dan peningkatan risiko kejadian kecelakaan ataupun penyakit akibat kerja. Selain itu, riwayat kesehatan pekerja, perilaku kebersihan personal dan kondisi kesehatan lingkungan kerja pada dapur rumah sakit merupakan komponen yang saling berpengaruh dalam menentukan status kesehatan kerja maupun risikonya.
Hasil penelitian yang ia lakukan menunjukkan bahwa intervensi pelatihan dan safety briefing memiliki efek pada kenaikan rata-rata skor perilaku penjamah makanan, meski tidak semuanya signifikan secara statistik. Karena itu, ia menyarankan agar kegiatan ini dapat terus dilakukan secara terukur.
“Rumah sakit perlu selalu melakukan evaluasi pelatihan dan safety briefing secara terukur untuk memperbaiki perilaku safe food handling. Pemeriksaan kesehatan petugas rumah sakit juga perlu dilaksanakan berdasar asesmen risiko tempat kerja,” pungkas Daru. (Humas UGM/Gloria)