Malaria masih merupakan masalah kesehatan di masyarakat perbukitan Menoreh pada 20 tahun terakhir. Bahkan, kasus Malaria ini mengalami peningkatan selama lima tahun terakhir.
Dwi Sarwani Sri Rejeki, SKM., M.Kes (Epid), staf pengajar Fakultas Ilmu-Ilmu Kesehatan, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto, mengatakan distribusi sebaran spasial malaria di perbukitan Menoreh berpola clustered (mengelompok). Terdapat 19 pengelompokan (clusters) bermakna yang diidentifikasi dengan SaTScan antara tahun 2005-2015.
“Paling dominan terletak di Purworejo. Hasil purely temporal clustering menunjukkan waktu pengelompokan malaria tidak mempunyai pola konsisten, yaitu setiap bulan, dari Januari-Desember dapat terjadi pengelompokan malaria,” katanya di Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan UGM, Rabu (4/4) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Menurut Dwi Sarwani, pemodelan malaria dan informasi mengenai spatial, temporal dan spatiotemporal malaria dapat digunakan sebagai salah satu strategi dalam pengendalian malaria agar efektif dan efisien. Oleh karena itu, penelitian yang ia lakukan bertujuan untuk menyusun model prediksi malaria berdasarkan faktor iklim dan intervensi, baik pada level individu berdasarkan faktor risiko dan mengidentifikasi, maupun pola distribusi malaria berdasarkan ruang (tempat) dan waktu pada level desa dan individu.
Dari penelitian Dwi Sarwani, terungkap penderita malaria pada bulan September-Desember 2015 di ekosistem Menoreh rata-rata berusia 32 tahun, dengan usia termuda 1 tahun dan tertua 80 tahun. Dari 138 kasus malaria, terdapat 13 kasus (9,4%) berusia di bawah 5 tahun.
Bahkan, ada kasus malaria pada bayi (11 bulan), dan 2 kasus pada usia 16 bulan. Adanya kasus pada bayi ini memperlihatkan adanya transmisi lokal dan kecenderungan kejadian di dalam rumah. Dengan kasus malaria pada bayi ini tentunya menjadi indikator besarnya transmisi di suatu daerah.
“Sebagian besar kasus malaria pada balita di ekosistem Menoreh terjadi di Kecamatan Kaligesing dengan tiga keluarga pada satu rumah di saat yang hampir bersamaan. Ini menunjukkan terjadinya penularan di dalam rumah,” katanya.
Mempertahankan disertasi Model Prediksi Kejadian Malaria, Studi Kasus daerah Endemis di Ekosistem Menoreh, Dwi Sarwani mengakui meski kegiatan pengendalian malaria sudah lama dilakukan oleh 3 kabupaten di ekosistem Menoreh, namun belum mencapai target yang maksimal. Menurutnya, kapasitas dan alokasi anggaran antar kabupaten di ekosistem Menoreh menjadi kendala dalam program eliminasi malaria.
Dwi Sarwani pun merasa maklum sebab dalam pelaksanaan desentralisasi, masing-masing kabupaten memiliki strategi yang berbeda dalam memperoleh potensi pendanaan untuk kegiatan pengendalian malaria. Meski sudah ada komitmen bersama di wilayah Menoreh, namun kolaborasi dan kemitraan belum diterjemahkan dalam aksi nyata.
“Oleh karena itu, dalam rangka mempercepat target eliminasi malaria di Menoreh diperlukan komitmen bersama antar tiga kabupaten, Kulon Progo, Purworejo dan Magelang untuk memperkuat kolaborasi lintas batas dalam pengendalian malaria,” paparnya didampingi tim promotor Prof. Hari Kusnanto, SU., Dr.PH dan dr. Elsa Herdiana Murhandarwati, M.kes., Ph.D. (Humas UGM/ Agung)