Universitas Gadjah Mada kembali menjalin kerja sama dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana. Kali ini kerja sama dilakukan dengan Direktorat Kesiapsiagaan BNPB terkait Pemasangan Instrumentasi Peringatan Dini Bencana Longsor Tahun Anggaran 2018.
Penandatanganan dilakukan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M., dan Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc. Dalam kerja sama ini, kedua belah pihak sepakat untuk menerapkan teknologi peringatan dini bencana longsor dengan pemasangan sistem peringatan dini bencana longsor berbasis curah hujan dan kondisi geologi setempat, untuk meminimalkan dampak korban jiwa dan kerugian harta benda akibat bencana tanah longsor.
Deputi Bidang Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB, Ir. Bernardus Wisnu Widjaja, M.Sc., menyambut baik kerja sama ini. Dalam kerja sama yang telah berlangsung selama 11 tahun semenjak tahun 2007, UGM dinilai senantiasa memberi dukungan untuk menghasilkan karya-karya dalam pengelolaan bencana.
“Terima kasih, kita memang mestinya bisa menyikapi kondisi negara yang senantiasa dianggap sebagai supermarket bencana. Meskipun dalam prosesnya, kita pun kemudian berpikir ulang bahwa inilah laboratorium bencana dan kita harus bisa memanfaatkan,” katanya di ruang sidang pimpinan UGM, Kamis (5/4).
Sebagai laboratorium bencana dan unggul dalam pengelolaan bencana, menurut Wisnu Widjaja, orang asing yang masuk ke Indonesia bisa belajar. Pemberian ISO 22327 di bidang tanah longsor menjadi bukti dan Indonesia nomor satu untuk bidang ini.
“Ini tentunya menjadi tantangan dan jangan berhenti di bidang ini karena masih banyak yang lain. Kita punya bencana 13, ini baru satu,” katanya.
Agar terus unggul di bidang pengelolaan kebencanaan, kata Wisnu Widjaja, para ilmuwan termasuk di UGM diharapkan tidak hanya mengandalkan hard science, namun juga kuat di social science. Keduanya digarap bersamaan dengan harapan Indonesia bisa terus memimpin.
Para ahli gunung di Jepang pun mengakui sistem untuk emergency management di Indonesia. Sistim emergency management di Indonesia dinilai lebih kuat dibanding Jepang.
“Dalam menghadapi bencana Jepang cepat karena sudah tertata dan tahu tugasnya. Namun, mereka tidak pernah membayangkan bagaimana saat erupsi Merapi ada 500 ribu orang mengungsi, dan Indonesia mampu mengurusi pengungsi sebesar itu,” katanya.
Oleh karena itu, dengan pengalaman yang lebih banyak dimiliki, Indonesia seharusnya lebih percaya diri. Hal ini tentu menjadi peluang bagi peneliti agar prospek dan peluangnya lebih bisa di tingkatkan lagi.
Hal serupa disampaikan Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M. UGM merasa senang bisa kembali bekerja sama dengan BNP karena dari sini UGM bisa mengembangkan early warning system hingga ke level dunia dan mendapat pengakuan dari ISO. Hal ini tentu menjadi sesuatu yang membanggakan sekaligus memperteguh kepercayaan diri.
“Kemajuan, inovasi maupun teknologi bisa cepat berkembang kalau kita bekerja sama, baik dengan pemerintah maupun dunia industri, masyarakat,” katanya. (Humas UGM/ Agung; foto: Bani)