Ruang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai Alun-Alun Utara yang merupakan bagian dari pusat kota Yogyakarta, pada dasarnya tercipta oleh jalinan antara ruang fisik dengan nilai-nilai kehidupan sosial-ekonomi-budaya yang telah dikembangkan para pelaku ruang secara menyejarah sekaligus membentuk citra karakternya. Bahwa jalinan trsebut melahirkan berbagai macam persepsi, emosi, dan perasaan kepada pelaku ruangnya.
“Karena berlangsungnya cukup lama dan berulang-ulang, jalinan tersebut kemudian melembaga menjadi hubungan saling mengikat dan tersimpan kuat dalam ingatan kognisi pelaku ruangnya yang akhirnya menjadi factor penting terbangunnya pemaknaan ruang perkotaan ini,†ujar Ir Edi Purwanto MT, Rabu (15/8).
Staf pengajar Fakultas Teknik Jurusan Arsitektur Universitas Diponegoro Semarang, menyampaikan hal itu saat melaksanakan ujian terbuka program doktor di Sekolah Pascasarjana UGM Bidang Ilmu Teknik Arsitektur. Promovendus mempertahankan desertasi “Rukun Perkotaan Berbasis Budaya Guyub Poros Tugu Pal Putih Sampai Dengan Alun-Alun Utara Yogyakartaâ€, dengan bertindak selaku promoter Prof Ir Achmad Djunaedi MUP PhD dan ko-promotor Dr Ir Sudaryono MEng serta Ir Bambang Hari Wibisono MUP MSc PhD.
Kata Edi Purwanto, penggalian makna ruang perkotaan ini berdasar empat alasan, yaitu (i) keragaman pelaku ruang mempunyai andil dan pengaruh yang sangat besar di dalam pembentukan makna ruang perkotaan, (ii) ruang perkotaan tersebut memiliki karakter yang khas, (iii) pembentukan makna akan memperkuat eksistensi dan karakter ruang perkotaan itu sendiri dan (iv) keberadaan ruang perkotaan yang bermakna merupakan peluang bagi munculnya pengetahuan baru bagi perencanaan dan perancangan ruang perkotaan yang berakar pada nilai-nilai lokal.
Katanya, penelitian dengan faham fenomenologi model paradigma naturalistik dipilih untuk mengungkap makna ruang perkotaan poros Tugu Pal Putih sampai dengan Alun-Alun Utara. Alasannya pemilihan paham dan model penelitian tersebut dianggap lebih tepat dalam mengungkap dan memahami apa yang tersembunyi di balik fenomena-fenomena pembentuk makna ruang perkotaan ini.
Selain menghasilkan ruang konsensus dan ruang bereksistensi, penelitian Edi Purwanto menghasilkan pula ruang imajinasi kolektif. Di dalam konsep-konsep tersebut terkandung sistim nilai yang berupa prinsip-prinsip saling menghormati, saling menghargai, saling menolong, saling berbagi, saling mengakui dan saling memberi kebebasan. Dipercaya pula berisi keyakinan-keyakinan tentang ketentraman dan kenyamanan batin, kepuasan batin, berkah dan rejeki, pengayoman dan kekuatan, semangat dan rasa memiliki ruang.
“Sistim nilai dan kepercayaan saling bersinergi, membangun penguatan sehingga menjadi budaya guyub sebagai modal sosial ruang perkotaan ini,†ungkap Sekretaris Jurusan Arsitektur FT UNDIP tahun 2000 – 2003 ini.
Lebih lanjut Edi menjelaskan, substansi yang terkandung dalam budaya guyub tersebut menjadi basis terbangunnya sebuah teori substantif yaitu “rukun kotaâ€. Secara teoritis “rukun kota†terbangun berdasarkan keterajutan antara sistim nilai-nilai dan kepercayaan dengan ruang perkotaan ini yang ditumbuhkembangkan secara spontan dan mandiri oleh pelaku ruangnya, secara fisik berbentuk ruang jalan (poros) yang memiliki batas-batas “keterpengaruhan budaya guyubâ€. Dalam “rukun kotaâ€, segala perilaku meruang pelaku ruangnya berkaitan dengan kegiatan ekonomi, sosial, budaya, spiritual dan penyampaian aspirasi politik berdasar budaya guyub.
“Budaya guyub tersebut dapat ditemukan dan dikenali terutama di kampung-kampung, sebagian mengalami penetrasi (perembesan) ke lingkungan perkotaan, karena dengan sengaja atau tidak sengaja di bawa pelaku ruangnya. Sebagian lagi karena ditumbuhkembangkan oleh pelaku ruang dan mengalami proses penguatan nilai-nilai dan kepercayaan,†tandas pria kelahiran Cilacap 31 Desember 1963, yang dinyatakan lulus dengan predikat cum laude. (Humas UGM)