Sejak reunifikasi, Jerman memasuki babak baru khususnya dalam bidang ekonomi yang salah satunya ditandai dengan pemanfaatan teknologi dan daya inovasi. Hal ini turut membawa dampak pada perubahan struktur dunia kerja yang menjadi salah satu tema penting dalam karya sastra Jerman.
“Wacana tentang perubahan struktur dunia kerja yang disinyalir mulai mencuat sejak awal dekade kedua pascareunifikasi menjadi sangat relevan untuk dipertanyakan dan diteliti lebih lanjut guna memahami aktualitas tema Arbeit dalam masyarakat Jerman melalui karya sastra,” ucap Syamsu Rijal saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Selasa (24/4) di Fakultas Ilmu Budaya UGM.
Ia memaparkan, dalam dunia sastra tema Arbeit atau pekerjaan senantiasa mewarnai karya-karya sastra yang hadir di Jerman, bahkan sejak abad pertengahan. Hal ini dapat ditelusuri misalnya di dalam beberapa tulisan bunga rampai dan bibliografi yang secara spesifik menampilkan karya-karya sastra bertema Arbeit dan Arbeitslosigkeit atau pengangguran sebagai lawan dari tema Arbeit.
“Sejak abad ke-20 sastra yang bertema pengangguran telah menjadi bagian tak terpisahkan dari isu-isu sosial politik di Jerman,” jelasnya.
Dalam disertasinya yang berjudul “Tema Budaya Arbeit dalam Tiga Roman Jerman Pasca Reunifikasi” Syamsu berusaha menemukan apa yang ditawarkan tiga roman yang lahir dalam rentang dekade kedua pasca reunifikasi sebagai respons terhadap kondisi masyarakat yang telah melahirkannya itu, baik berupa negasi, inovasi, maupun afirmasi bentuk hubungan hakiki antara karya sastra dengan masyarakatnya.
Ketiga novel yang ia pilih adalah Das Jahr der Wunder (Tahun Keajaiban) karya Reiner Merkel (2001), Wir Schlafen Nicht (Kami Tidak Tidur) karya Katrin Roggla (2004), dan Mobbing (Perundungan) karya Annette Pehnt (2007).
“Ketiga roman di atas tidak hanya terbit dalam dekade kedua pascareunifikasi, tetapi juga kekentalan tema Arbeit di dalamnya. Artinya, Arbeit bukanlah sekadar tema sampingan, tetapi menjadi tema utama,” tutur dosen Universitas Negeri Makassar ini.
Dari penelitiannya, ia menemukan bahwa hubungan kerja yang semakin longgar usai reunifikasi memaksa pekerja kehilangan semakin banyak hak, yang kemudian membuat mereka tereksploitasi secara sadar dan teralienasi dari kerja mereka sendiri. Melihat kondisi ini, ketiga pengarang melalui romannya hendak menghentak dan membangunkan pembacanya, bahwa saat ini telah terjadi ketimpangan sosial dan penindasan terhadap harkat dan martabat kemanusiaan melalui Arbeit.
“Para pengarang menghendaki adanya humanisasi Arbeit dalam kehidupan masyarakat dewasa ini dengan cara mengembalikan tujuan arbeit itu sendiri, mewujudkan Gute Arbeit yang bermuara paa meningkatnya harkat dan martabat manusia,” pungkas Syamsu. (Humas UGM/Gloria)