Bencana gerakan tanah atau yang umum disebut tanah longsor merupakan bencana alam dengan tingkat kejadian tinggi dan sebaran yang luas di seluruh dunia. Gerakan tanah umumnya terjadi pada daerah dengan kemiringan lereng sedang sampai curam, kondisi tanah yang labil, dan dipicu dengan curah hujan tinggi atau gempa.
Menurut Prof. Teuku Faisal Fathani, S.T., M.T., Ph.D pembangunan infrastruktur yang intensif di daerah rentan akan meningkatkan risiko terjadinya bencana. Gerakan tanah ini dapat menimbulkan dampak kerusakan dan kerugian yang besar ketika terjadi di daerah dengan kepadatan hunian yang tinggi.
“Sayangnya, di sisi lain pengetahuan dan kemampuan masyarakat dalam mitigasi bencana masih rendah,” tuturnya di Balai Senat, Kamis (3/5), saat dikukuhkan sebagai Guru Besar pada Fakultas Teknik UGM.
Faisal menuturkan wilayah Indonesia memiliki kondisi geomorfologi yang unik karena berada pada pertemuan tiga lempeng besar dunia yang aktif. Kondisi ini menjadikan Indonesia memiliki berbagai potensi bencana alam, seperti letusan gunung api, gempa bumi, tsunami, tanah longsor dan banjir. Data BNPB tahun 2003-2017 menunjukkan peningkatan jumlah kejadian bencana di Indonesia.
“Tanah longsor adalah bencana paling mematikan selama tahun 2016 dengan 612 kejadian dan merenggut 188 korban jiwa,” kata dosen Departemen Teknik Sipil dan Lingkungan, Fakultas Teknik UGM itu.
Di tahun 2017, tercatat 2.372 kejadian bencana alam yang mengakibatkan 377 korban jiwa dan 3,49 juta jiwa terdampak dan mengungsi. Jumlah kejadian tanah longsor menempati urutan ketiga setelah banjir dan puting beliung. Hasil analisis risiko bencana mengungkapkan gerakan tanah terjadi hampir di seluruh provinsi di Indonesia dengan jumlah terdampak 14,1 juta dan area terdampak 57,4 juta hektare yang mengakibatkan kerugian secara ekonomi, fisik dan lingkungan yang sangat besar.
Menyampaikan pidato pengukuhan berjudul Penegakan Kedaulatan Teknologi Nasional Dalam Penanggulangan Bencana Gerakan Tanah, Faisal Fathani mengungkapkan sebagai negara yang memiliki tingkat kerentanan tinggi terhadap berbagai ancaman bencana, pemerintah Indonesia telah berkomitmen dengan menetapkan pengurangan risiko bencana sebagai salah satu prioritas pembangunan nasional. Kebijakan nasional dalam penanggulangan bencana ini mulai menjadi perhatian setelah kejadian gempa bumi dan tsunami di Aceh dan Nias pada akhir tahun 2004, yaitu dengan diwujudkannya kerangka regulasi Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.
Faisal menandaskan upaya penanggulangan bencana merupakan tantangan dan tanggung jawab besar yang harus digerakkan dengan strategi yang terstruktur, terukur dan berkelanjutan. Dalam satu dekade terakhir, Indonesia telah menyerap banyak pembelajaran berharga dan melakukan berbagai perubahan dalam manajemen penanggulangan bencana yang menitikberatkan pada pengurangan risiko bencana.
“Strategi penanggulangan bencana dimulai dari penilaian dan pemetaan risiko bencana untuk menentukan daerah berisiko tinggi dan prioritas penanganan,” terangnya.
Salah satu upaya mitigasi paling efektif yang menjadi bagian dari investasi pengurangan risiko bencana, menurut Faisal, adalah dengan penerapan sistem peringatan dini menggunakan teknologi tepat guna. Strategi tersebut dituangkan dalam suatu standar nasional dan internasional agar dijadikan acuan/ rujukan aksi pengurangan risiko bencana di Indonesia dan seluruh dunia.
Bagi Faisal Fathani segala strategi penanggulangan bencana tidak memiliki arti jika tidak mampu memberikan kontribusi nyata dalam mengarahkan kebijakan dan implementasi di tingkat pusat dan daerah. Apalagi, Indonesia telah berkomitmen untuk sepenuhnya mengadopsi dan mendukung Kerangka Sendai (2015-2030), pembangunan berkelanjutan (SDGs), perjanjian perubahan iklim dan komitmen global lainnya.
“Banyak program yang telah dijalankan, sebagian besar lebih bersifat responsif daripada upaya pencegahan. Oleh karena itu, pegarusutamaan perencanaan dan penganggaran kebijakan, peningkatan kapasitas pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat lokal serta pembangunan infrastruktur berbasis mitigasi bencana sangat penting untuk mengurangi risiko bencana dan mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan,” terangnya. (Humas UGM/ Agung; foto : Firsto)