Kemerdekaan kekuasaan kehakiman merupakan salah satu prinsip utama dalam konsep negara hukum. Namun, dalam kenyataannya kekuasaan kehakiman sebagai institusi tidak serta merta mendapatkan jaminan kemerdekaan hakim secara personal. Meskipun jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman sudah dicantumkan secara ekplisit di dalam konstitusi pasal 24 ayat 1 UUD 1945, tetapi peraturan perundang-undangan yanga ada di bawahnya seringkali tidak koheren dan justru cenderung mengooptasi. Hal itu dikemukakan oleh mahasiswa Program Studi Doktor Ilmu Hukum, Fakutas Hukum UGM, Ibnu Sina Chandranegara, dalam ujian terbuka promosi doktor yang berlangsung Sabtu (19/5) di Fakultas Hukum UGM.
Ibnu menyebutkan penuangan makna jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman setelah adanya perubahan UUD 1945 dilakukan dengan dua jenis, yakni pola kebijakan reformasi peradilan yaitu penuangan jaminan institusional kemerdekaan kekuasaan kehakiman dan penuangan jaminan personal kemerdekaan kekuasaan kehakiman. Ia menjelaskan kemerdekaan kekuasaan kehakiman hanya dipahami sebagai kemerdekaan institusi melalui kebijakan satu atap sehingga kemerdekaan hanya ditempatkan lebih kepada ketua-ketua lembaga, seperti Ketua Mahkamah Agung, Ketua Pengadilan Tinggi, Ketua Pengadilan Negeri dan para pelaksananya bukan pada para hakim sebagai pribadi. Akibatnya, terdapat relasi atasan-bawahan secara administratif yang mengaburkan posisi letak kekuasaan kehakiman dan kemandiran hakim. “Hal ini berpotensi melahirkan intervensi yang lahir dari birokrasi peradilan,” ungkapnya.
Berdasarkan implikasi negatif yang timbul dari penuangan makna jaminan kemerdekaan kekuasaan kehakiman, menurutnya, perlu ada perubahan dan penyempurnaan meliputi perubahan pola penuangan makna kemerdekaan kekuasaan kehakiman melalui pola kemandirian personal yang akan membawa kemerdekaan institusi. “Apabila ada perubahan pola tersebut maka kemerdekaan kekuasaan kehakiman akan lebih berpusat pada hakim dan tidak semata-mata pada institusi,” imbuhnya.
Selain itu, juga perlu diaplikasikan sistem pembagian tanggung jawab dalam manajemen hakim. Pengembangan sistem ini akan menyempurnakan sistem satu atap yang saat ini menjadi anomali dalam manajemen hakim. “Penerapan sistem ini akan meringankan beban Mahkamah Agung dan mengoptimalkan fungsi dan eksistensi Komisi Yudisial dalam menopang kemerdekaan kekuasaan kehakiman,” katanya. (Humas UGM/Gusti Grehenson)