Bertambahnya jumlah penduduk, meningkatnya pendapatan per kapita penduduk serta semakin banyak wisatawan lokal dan mancanegara ke Yogyakarta semakin menambah jumlah permintaan akan hotel, penginapan, kos dan semakin menjamurnya kedai makan, rumah makan, restauran, food court dan coffe shop. Hal tersebut berdampak pula terhadap permintaan akan bahan pangan, termasuk permintaan daging sapi.
Oleh karena itu, peningkatan permintaan daging sapi di sisi hilir, perlu dipenuhi dari sisi penawarannya di sisi hulu. Data menunjukkan selama 22 tahun dari tahun 1995-2016 selalu terjadi peningkatan daging sapi.
Dwi Aulia Pupaningrum, dosen jurusan Agribisnis, Fakultas Pertanian, UPN “Veteran”, Yogyakarta, menyebut laju permintaan daging sapi di DIY dalam kurun waktu tersebut mencapai 32 persen per tahun. Guna menandingi permintaan maka di sisi penawarannya (supply) perlu dilakukan langkah-langkah strategis agar ketersediaan daging sapi DIY selalu terjaga sehingga pasar akan berjalan dengan normal dan equilibrium pasar terjaga.
“Ketersediaan daging sapi DIY perlu diperhatikan keberlanjutannya karena hampir selama 22 tahun tersebut laju produksi daging sapi DIY hanya sebesar 2,08 persen per tahun,” sebutnya di Auditorium Fakultas Pertanian UGM, Kamis (28/6) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Data memperlihatkan permintaan daging sapi di tahun 1995 sebesar 8.751.116 kg, naik menjadi 10.052.747 kg di tahun 2005 dan naik lagi menjadi 10.906.917 kg di tahun 2015. Daerah yang memiliki permintaan daging sapi tertinggi di DIY adalah Kabupaten Sleman dengan share sebesar 31 persen.
Menurut Dwi Aulia adanya gap antara sisi permintaan yang mempunyai tingkat laju lebih tinggi dari sisi penawaran harus dicarikan solusi untuk mengatasinya. Ketimpangan permintaan dan penawaran dalam pasar daging sapi yang terjadi di DIY perlu dicermati dan dikaji secara mendalam.
“Karena itu, salah satu tujuan penelitian ini mengkaji ketersediaan daging sapi berbasis permintaan dan penawaran dalam sistem yang dinamis di DIY didekati dengan analisis sistim dinamis. Berupa penyusunan model rantai pasok yang mengindikasikan sistem ketersediaan daging sapi potong DIY dilakukan untuk melihat perilaku sistem dan cara kerja sistem secara dinamis,” tutur Dwi Aulia.
Dwi Aulia mengakui penelitian tentang masalah daging sapi potong sudah banyak dilakukan dan para peneliti sebelumnya mengkaji permasalahan daging sapi secara terpisah, mulai masalah permintaan daging sapi, penawaran daging sapi, persediaan daging sapi dan usaha daging sapi. Sementara kebaruan penelitian yang ia lakukan adalah melakukan penelitian secara komprehensif dari semua usaha daging sapi dari hulu (peternak) hingga hilir (konsumen) dalam suatu pergerakan dinamis rentang waktu yang panjang, dengan dipadu secara detail berbasis spasial sistem informasi geografis kewilayahan di DIY.
Mempertahankan disertasi Ketersediaan Daging Sapi Berbasis Penawaran dan Permintaan Melalui Pendekatan Sistem Dinamis dan Spasial di DIY, Dwi Aulia menyatakan kebijakan yang sebaiknya dilakukan Pemerintah Propinsi DIY dalam rangka menjaga ketersediaan daging sapi seyogianya melalui kebijakan non harga dan dilakukan secara bersama seluruh pelaku usaha berbasis daging sapi. Selain itu, perlu melanjutkan program yang baik untuk diteruskan, misalnya program upsus dan babinsa.
Pemerintah harus lebih menitikberatkan peningkatan kegiatan dan aktifitas di sisi produksi daging sapi dengan cara menggalakkan partisipasi elemen pelaku rantai pasok mulai dari Pemerintah DIY, peternak, petani, pedagang sapi, jagal, blantik, TPH/RPH serta pedagang daging sapi. Semua bisa dilakukan dengan cara meningkatkan jumlah populasi sapi.
“Bisa dengan menggerakkan usaha peningkatan kebuntingan sapi, gertak birahi dan menggunakan bibit unggul. Disamping itu, bisa pula dengan meningkatkan jumlah sapi masuk wilayah DIY dengan cara selektif yang bisa mendatangkan bibit unggul,” katanya. (Humas UGM/ Agung)