Sekelompok mahasiswa UGM mengembangkan sebuah alat penerjemah bahasa isyarat yang membantu penyandang tuna rungu dan tuna wicara berkomunikasi dengan orang-orang di sekitarnya.
“Perangkat ini berupa sarung tangan yang bisa menerjemahkan bahasa isyarat secara langsung ke bahasa verbal,” kata Ketua tim pengembang, Nindi Kusuma Ningrum, Jumat (29/6) kepada wartawan di Ruang Fortakgama UGM.
Prototipe yang dinamai SIGNLY atau Sign Language Translator Synchronously berbentuk sarung tangan dengan katalog bahasa isyarat masukan diambil dari American Sign Language, Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo), dan masukan-masukan baru menggunakan kombinasi 5 jari tangan kanan.
SIGNLY dikembangkan melalui Program Kreativitas Mahasiswa bidang Karsa Cipta (PKM-KC) dan mendapatkan dana hibah dari DIKTI. Dalam pengembangan alat ini Nindi dibantu oleh teman satu jurusannya di Teknologi Informasi Fakultas Teknik yakni Faturahman Yudanto dan Lely Monalisa di bawah bimbingan Anugerah Galang Persada, S.T., M.Eng.
Perangkat yang dikembangkan terdiri dari komponen utama berupa sarung tangan, smartphone, dan komputer. Dalam sarung tangan terdapat teknologi untuk mendeteksi gerakan dan posisi jari tangan berupa flek sensor. Informasi yang diterima berupa keluaran huruf selanjutnya ditampilkan melalui aplikasi berbasis desktop atau smartphone.
“Output yang berupa bahasa verbal tulis atau rangkaian huruf nantinya akan dikonversikan ke dalam bentuk suara sehingga orang dapat langsung mengerti apa yang dikomunikasikan, khususnya bagi yang tidak tahu bahasa isyarat,” papar Nindi.
Selanjutnya, lawan bicara dapat menjawab dengan bahasa sehari-hari yang kemudian akan dikonversikan dalam bentuk verbal tulis yang dapat dibaca secara langsung oleh penyandang tunarungu atau tunawicara melalui layar komputer atau smartphone.
Pengembangan SIGNLY, ditambahkan Faturahman, ditujukan untuk memudahkan komunikasi para penyandang tunarungu dan tunawicara dengan orang disekitarnya. Sebab, komunikasi dengan bahasa isyarat sulit dimengerti oleh masyarakat umum.
“Karenanya dibutuhkan alat yang bisa mambantu menjadi media komunikasi antar pengguna bahasa isyarat dan bahasa verbal,” terangnya.
Kebutuhan akan perangkat ini, kata dia, penting mengingat jumlah penduduk yang menderita gangguan pendengaran tidaklah sedikit. Berdasarkan data WHO tahun 2000 terdapat 250 juta penduduk dunia menderita gangguan pendengaran. Dari jumlah tersebut 75 hinga 140 juta diantaranya terdapat di Asia Tenggara. Sementara data hasil Survei Kesehatan Nasional oleh Kementrian Kesehatan Republik Indonesia (1993-1996) menunjukkan bahwa ada sebanyak 0,4% tunarungu dan 16,8% orang mengalami gangguan pendengaran dari jumlah total penduduk di Indonesia.
Kedepan pengembangan prototipe ini masih akan terus dilakukan. Salah satunya dengan menambahkan fungsi alat agar mampu menerjemahkan bahasa isyarat ke verbal suara.
“Saat ini kami fokus pada penelitian dan pengembangan lebih lanjut alat dan perangkat pendukungnya,”pungkas Lely.(Humas UGM/Ika; foto:Firsto)