Berbagai kebudayaan di dunia memiliki cara yang berbeda dalam menyikapi kematian. Setiap budaya dan keyakinan menemukan cara-cara berlainan yang kadang-kadang bahkan sangat tidak biasa untuk menghadapi kematian serta efek-efek yang ditimbulkan pada orang yang ditinggalkan.
Salah satu mahasiswa doktoral Fakultas Filsafat UGM, Rudy Harjanto, menggali beberapa pemaknaan terhadap hal ini, khususnya dari perspektif Taoisme yang banyak berkembang di Asia.
“Ada beberapa orang atau kelompok yang melakukan hal-hal yang diyakininya benar, meskipun dalam pandangan keyakinan yang lain justru penuh dengan kebencian dan kekerasan. Pada pembahasan tafsir manusia atas peristiwa, menarik ketika mengkaji tafsir atas sistem kepercayaan yang diyakini,” ucapnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Rabu (4/7).
Ia menyebutkan salah satu fenomena ketika banyak orang dengan alasan keyakinan menyakiti dirinya bahkan mencelakakan orang lain. Dalam hal ini kematian dipandang bukan hanya menjadi bagian dari dirinya, namun dapat dibagikan kepada orang lain karena dirinya memiliki kemampuan untuk mengambil keputusan.
Dalam banyak kejadian, jelasnya, kematian menjadi sarana untuk menunjukkan jati diri dan menyebarkan kematian kepada orang lain yang bahkan mungkin tidak dikenalnya.
Dalam perspektif Taoisme, makna kematian adalah proses untuk menuju kehidupan dalam dimensi lain. Hidup dan mati dipandang sebagai satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, dan manusia menjalani siklus dari alam kembali ke alam.
“Hubungan dasar kematian adalah proses penyatuan kembali tubuh fisik manusia ke alam. Ketika kemampuan bernafas manusia terhenti, lalu manusia disebut mengalami kematian, pada kondisi inilah tubuh fisik manusia kembali ke titik awal, kembali ke asalnya,” papar pengajar di STIE Paripurna ini.
Kehidupan setelah kematian, dalam perspektif Taoisme, merujuk kepada kepercayaan bahwa seseorang itu akan mati dan dilahirkan kembali dalam bentuk kehidupan lain tertentu sesuai dengan hasil perbuatannya yang terdahulu.
Pemaknaan seperti ini, ujarnya, seharusnya mendorong manusia untuk melakukan kebaikan dan memberi manfaat bagi orang lain di sekitarnya karena kebaikan yang dilakukan selama hidup di dunia akan menebarkan energi positif. Energi yang terpancar ini kemudian akan memiliki dampak yang besar bagi orang lain dan alam sekitar sehingga akan menarik energi positif berlimpah tanpa batas, dan menjadi bagian dari proses rumusan pandangan hidup agar kehidupan menjadi lebih bermanfaat, bahkan setelah kematian. (Humas UGM/Gloria)