Pukul sepuluh pagi Kamis kemarin (5/7), ruang Sekolah Vokasi 225 ramai terisi sivitas akademika baik dari dalam maupun luar UGM. Libur perkuliahan tidak menghalangi mereka untuk menghadiri penayangan film ‘Sardjito dalam Lukisan Revolusi’ yang diselenggarakan Himpunan Mahasiswa D3 Kearsipan (HIMADIKA) UGM. Film dokumenter yang diproduksi oleh UGM ini mengisahkan sisi lain dari sosok Sardjito yang selama ini kita kenal.
Film ini bercerita tentang peran Sardjito selama masa revolusi dalam kurun tahun 1945-1949. Cerita dimulai dua minggu setelah proklamasi kemerdekaan, ketika Sardjito diberi mandat untuk mengambil alih Institut Pasteur di Bandung. Sebagai seorang dokter lulusan STOVIA, Sardjito dinilai pemerintah mampu menangani lembaga medis itu.
Empat bulan berselang, Belanda yang belum menerima kemerdekaan Indonesia melancarkan serangan militer di berbagai kota di Indonesia, termasuk Bandung. Pada waktu ini, Sardjito diminta oleh pemerintah untuk mengungsikan Institut Pasteur dari Bandung menuju Klaten. Hal itu karena institut tersebut merupakan penghasil vaksin serta obat-obatan utama kala itu. Sardjito pun langsung bergerak untuk memindahkan seluruh barang yang bisa dibawa, termasuk vaksin beserta obat-obatan dengan kereta api.
Sesampainya di stasiun tujuan, ia tidak lantas bisa langsung ke calon lokasi baru instititut karena jarak yang jauh, serta adanya patroli tentara sekutu yang sudah sampai di Indonesia. Pada posisi ini, Sardjito terpikir untuk menyelundupkan vaksin yang terselamatkan ke dalam kulit perut kerbau sebagai kamuflase selama perjalanan menuju lokasi baru. Dengan demikian, berkat ide dari Sadjito tadi, pemindahan institut ke Klaten sukses.
Alur film berlanjut pada momen keterlibatan Sardjito selama perang gerilya sampai puncaknya pada ‘Serangan Umum Satu Maret’. Pada masa ini, ada beberapa peran vital yang dijalankan Sardjito . Peran yang pasti yaitu tempatnya ini menjadi pusat logistik serta medis bagi rakyat yang mengungsi serta pasukan Indonesia yang ikut berperang.
Lalu, peran yang sebenarnya tidak diduga adalah keterlibatannya dalam mengatur rencana gerilya bersama Jendral Abdul Haris Nasution. Hal ini diketahui dari hasil temuan tim Arsip UGM setelah bertemu dengan orang yang mewawancarai Nasution. Bahkan, tahun 1958 Sardjito menerima lencana Bintang Gerilya dari TNI sebagai tanda jasa keterlibatannya tadi.
Musliichah, arsiparis UGM, yang telibat dalam pembuatan film mengatakan bahwa tujuan utama pembuatan film dokumenter ini adalah untuk memperkenalkan sisi lain Sardjito sebagai seorang pejuang. “Selama ini beliau dikenal hanya sebagai seorang dokter atau rektor pertama sekaligus pendiri UGM. Melalui film ini kita akan tahu bahwa Sardjito juga pernah terlibat langsung dalam memperjuangkan kemerdekaan Indonesia,” ungkap perempuan yang akrab disapa Ika ini.
Bahan dari film dokumenter ini, Ika menjelaskan, berasal dari buku “Lukisan Revolusi Indonesia” yang diterbitkan tahun 1949 oleh Kementerian Penerangan Indonesia kala itu. Selain itu, ada buku ‘Sejarah Perjuangan Rakyat Kabupaten Klaten’ yang terbit tahun 1976 karya Panitya Pembangunan Monumen Perjoangan ’45 Klaten. “Namun, itu hanya sebagai tulang punggungnya saja, semacam fondasi yang membutuhkan verifikasi ulang,” tambahnya.
Ika melanjutkan, untuk bahan lengkapnya ia dapatkan setelah melakukan riset ke berbagai tempat. “Ada yang dari Arsip Nasional Republik Indonesia, Arsip TNI, Manuskrip-manuskrip dari Rumah Pak Sardjito, dan beberapa wawancara dengan pelaku sejarah langsung serta beberapa ahli yang terkait,” jabarnya.
Dwi Nur Rizkiansyah, editor sekaligus videografer film ini, menjelaskan bahwa proses pengambilan data untuk film ini sudah dilakukan sejak bulan Oktober tahun lalu. Namun, niat awalnya tidak digunakan untuk membuat film dokumenter, melainkan pengajuan Sardjito sebagai salah satu pahlawan nasional.
Ia melanjutkan karena merasa data yang didapatkan lebih dari cukup sekaligus agar tidak terbuang percuma, akhirnya UGM memutuskan untuk membuat film ini. “Setelah mengambil gambar yang diperlukan dan melewati proses editing, film dokumenter ini selesai pada Mei kemarin,” tuturnya.
Sejauh ini, menurut Ika, sudah dua belas kali film dokumenter ini diputar di berbagai tempat. Seperti penayangan di Palang Merah Indonesia (PMI) Pusat, Universitas Islam Indonesia, SMAN 1 Kibang di Lampung Timur, Warga Desa Krakitan di Klaten, dan lain-lain.
Ia mengungkapkan bahwa dari dua belas kali penayangan tersebut tidak ada di antaranya yang diselenggarakan oleh pihak UGM sebagai pihak pemroduksi. Walaupun ada yang terselenggara di area UGM, seperti acara hari ini di Sekolah Vokasi. Namun, menurut Ika, hal itu karena inisiatif dari instansi-instansi tersebut sendiri.“Mereka mengajukan izin penayangan sendiri kepada pihak UGM setelah melihat trailer awal film ini di saluran Youtube dan Instagram UGM,” terangnya.
Rizki menimpali bahwa UGM sendiri baru menjadwalkan penayangan film dokumenter ini pada 10 Juli mendatang. Hal itu sekaligus sebagai launching resminya oleh UGM.
Rizki berharap dengan adanya film ini sosok Sardjito akan lebih dikenal, baik di dalam serta luar UGM. Sementara itu, Ika lebih berharap, sisi lain Sardjito sebagai pejuang tadi bisa diketahui masyarakat luas. “Apalagi kalau benar beliau diakui sebagai pahlawan, itu lebih bagus lagi,” kelakarnya. (Humas UGM/Hakam)