Era milenium ketiga yang serba digital menjadi tonggak bagi transformasi dalam bidang perpustakaan. Dunia perpustakaan menghadapi tantangan yang besar untuk bisa memiliki citra positif sebagai sebuah lembaga yang dibutuhkan dan berperan dalam kehidupan sosial masyarakat. Oleh karena itu, menjadi menarik untuk melihat bagaimana representasi perpustakaan dalam film-film Indonesia era milenium ketiga ini.
“Diketahui terdapat film-film Indonesia yang diproduksi pada era milenium ketiga ini yang menggambarkan perpustakaan. Film tersebut dalam berbagai genre, mulai dari film remaja, drama, komedi, musikal hingga horor, bahkan film dengan kategori box office,” ujar Nina Mayesti, S.S., S.kom., M.Hum, di Auditorium Sekolah Pascasarjana UGM, Senin (9/7) dalam ujian doktor Program Studi Kajian Budaya dan Media.
Meski menggambarkan perpustakaan, Nina menyayangkan adegan dalam film hanya sebatas muncul dalam beberapa babak saja dengan durasi yang singkat. Perpustakaan belum pernah diangkat sebagai tema utama atau muncul menjadi bagian dari judul film.
Nampaknya, perpustakaan dalam film Indonesia belum dianggap sebagai sesuatu yang penting. Perpustakaan cenderung ditampilkan sebatas unsur dekoratif semata.
“Aktivitas di perpustakaan belum menonjolkan suasana pembelajaran dan diskusi intelektual. Perpustakaan masih direpresentasikan sebagai sebuah ruang dengan rak-rak kayu tua dan buku-buku lama, terlihat sepi, bahkan menyeramkan. Pustakawan pun tampil tidak profesional dan digambarkan dengan stereotipe negatif,” kata Nina, dosen Departemen Ilmu Perpustakaan dan Informasi, FIB Universitas Indonesia.
Padahal, dunia perpustakaan di era milenium ketiga ini, pada realitasnya telah mengalami perubahan dan perkembangan. Perpustakaan di era milenium lebih memberi kenyamanan pada pengunjung untuk memanfaatkan fasilitas internet, ruang belajar nyaman dan berdiskusi.
“Perpustakaan tidak lagi didominasi rak-rak buku, namun ruang-ruang belajar yang ditata lebih nyaman dengan dilengkapi fasilitas komputer, internet dan Wi-Fi,” ujar Nina dalam disertasinya Berkaca Di Layar Lebar: Wacana Tentang Perpustakaan Dalam Film Indonesia Era Milenium Ketiga, dengan promotor Dr. Aprinus Salam dan dr. Ratna Noviani, SIP., M.Si.
Nina menuturkan berbagai kesejangan yang direpresentasikan dalam film Indonesia tentu saja tidak terlepas dari beragam wacana yang turut membentuknya. Cara pandang terhadap perpustakaan sebagai lembaga nirlaba atau cost center berimplikasi pada minimnya anggaran dan kurangnya promosi. Demikian pula dengan lemahnya budaya baca dan riset di masyarakat Indonesia dinilai menjadi penyebab terbentuknya wacana tentang perpustakaan sebagaimana yang diproduksi dalam film-film Indonesia.
Kata Nina, kuatnya pemikiran perpustakaan sebagai lembaga non komersial yang hanya menyerap dan menghabiskan anggaran (cost centre) dan tidak menghasilkan ‘keuntungan’ (profit centre) memperlihatkan terminologi ‘keuntungan’ dalam cara pandang masyarakat Indonesia adalah finansial. Logika yang dipakai untuk melihat ini adalah logika industri sehingga anggaran akan digelontorkan jika menjanjikan hasil berupa keuntungan finansial secara langsung.
“Sebagai salah satu lembaga yang memproduksi pengetahuan, perpustakaan sesungguhnya memberikan banyak keuntungan bagi masyarakat dalam bentuk lain. Sayangnya, dengan cara pandang yang belum beranjak dari persoalan menomorsatukan finansial, dan perpustakaan sebagai lembaga yang tidak menghasilkan ‘keuntungan’ menjadikan ia sebagai lembaga yang senantiasa terpinggirkan,” tandas Nina. (Humas UGM/ Agung)