Persoalan perbatasan antara Indonesia dengan Timor Leste khususnya di darat masih belum terselesaikan hingga saat ini.
“Sengketa perbatasan darat antara Indonesia dengan Timor Leste di wilaya enclave oecussi masih saja terjadi dikarenakan belum adanya kejelasan dan batas darat yang tegas antar keduanya,” kata dosen Fakultas Hukum Universitas Pendidikan, Ganesha Dewa Gede Sudika Mangku, S.H., LL.M., Kamis (18/7) di UGM.
Saat mempertahankan disertasi program doktor FH UGM, dia menyebutkan ketidakjelasan pembatasan satu negara dengan negara yang berbatasan dengan darat menjadi salah satu faktor potensial yang bisa memicu konflik antar warga kedua negara yang tinggal di perbatasan.
Adanya gangguan keamanan yang kerap terjadi di perbatasan kedua negara, kata dia, semakin menegaskan adanya ketidakjelasan batas darat tersebut dapat dengan mudah memunculkan perselisihan dan konflik baik antar masyarakat maupun masyarakat dengan aparat keamanan.
“Meskipun sudah banyak kemajuan dalam kesepakatan penentuan batas wilayah darat, tetapi masih menyisakan sejumlah persoalan yang harus segera dicari solusi tanpa memakai kekerasan,” terangnya.
Sengketa perbatasan yang belum terselesaikan itu adalah di segmen Noel Besi-Citrana, segmen Bidjael Sunan-Oben, dan di segmen Subina.
Tidak hanya itu, Dewa Gede mengatakan masyarakat belum dilibatkan dalam penyelesaian sengketa perbatasan di kedua negara dengan cara damai. Padahal, dengan kondisi masyarakat yang mendiami Timor Bagian Barat (Indonesia) memiliki latar sosiokultural yang sama dengan masyarakat yang mendiami Timor Bagian Timor (Timor Leste) menjadikan tatanan hukum adat yang berlaku di kedua kelompok masyarakat ini pun sama.
Tatanan substansi hukum adat tersebut termasuk mengatur tentang persoalan pertanahan dan batas wilayah adat. Dengan begitu, para tokoh adat memiliki peran penting dalam melakukan negosiasi menyelesaikan persoalan yang ada.
“Yang ada justru ini menjadi kendala saat negara mengambil peran utama tanpa memperdulikan tokoh adat yang berpotensi untuk menentukan penyelesaian batas negara secara damai,”paparnya.
Melihat kondisi tersebut, Dewa Gede memberikan sejumlah rekomendasi. Beberapa diantaranya adalah kedua negara diharapkan dapat mengedepankan penyelesaian sengketa secara damai tanpa kekerasan serta mengedepankan diplomasi perbatasan.
Selain hal itu, juga melibatkan masyarakat dalam penyelesaian sengketa perbatasan. Namun demikian, sebelum dilibatkan masyarakat terlebih dahulu dibekali pendidikan untuk meningkatkan pengetahuan tentang perbatasan dan menguatkan jiwa nasionalisme.
“Melalui langkah itu keterlibatan masyarakat akan memberikan dampak positif bagi posisi Indonesia dalam perundingan,”pungkasnya. (Humas UGM/Ika)