UGM, Direktorat Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian RI, dan PT. Kimia Farma menandatangani nota kesepahaman (MoU) dalam pengembangan bahan baku obat parasetamol, Jumat (20/7) di Ruang Sidang Pimpinan UGM.
Kerja sama tersebut dilakukan sebagai upaya dalam mewujudkan kemandirian bahan baku obat dalam negeri. Adapun kerja sama yang dilakukan nantinya meliputi kegiatan penelitian, pembuatan, serta produksi skala pilot bahan baku obat parasetamol.
Direktur Jenderal Industri Kimia, Tekstil, dan Aneka Kementerian Perindustrian Republik Indonesia, Ir. Achmad Sigit Dwiwahjono, M.P.P., yang diwakili Direktur Industri Kimia Hulu, Ir. Muhammad Khayam, M.T,., mengatakan kerja sama ini merupakan milestone setelah tiga tahun silam pemerintah mencanangkan kebangkitan industri kimia, salah satunya bahan baku farmasi. Kinerja sektor industri farmasi ini didukung oleh Inpres Nomor 6 Tahun 2016 tentangi Percepatan Pengembangan Industri Farmasi dan Alat Kesehatan.
“Kerja sama antar stakeholder perlu dilakukan mengingat ketergantungan Indonesia akan bahan baku obat yang cukup besar hingga 95 persen. Harapannya nantinya ketergantungan ini bisa dikurangi,” paparnya.
Khayam mengungkapkan industri farmasi Indonesia terus tumbuh dari tahun ke tahun. Pada tahun 2002 silam posisi industri farmasi Indonesia masih di luar 50 besar dunia, lalu naik pada 2011 masuk dalam 16 besar dunia. Selanjutnya, pada 2030 mendatang ditargetkan bisa masuk dalam jajaran 10 besar dunia.
“Karenanya dibutuhkan inovasi dan ini otoritasnya lembaga penelitian di perguruan tinggi dan lembaga riset,”tuturnya.
Melalui kerja sama ini, Khayam berharap UGM dapat mengembangkan bahan baku obat, khususnya parasetamol, dalam skala laboratorium. Sementara itu, Kimia Farma dapat memproduksi dalam skala massal.
“Harapannya UGM dan Kimia Farma bisa bersama-sama mewujudkan hasil karya industri farmasi dalam negeri berupa parasetamol,” ucapnya.
Direktur Utama PT. Kimia Farma Tbk, Honesti Basyir, yang diwakili oleh Direktur Pengembangan Bisnis Kimia Farma, Pujiyanto, menyebutkan dengan munculnya instruksi pemerintah No. 6 tahun 2016 telah memicu munculnya industri farmasi yang dituntut untuk mewujudkan kemandirian bahan baku obat. Namun, untuk mencapai cita-cita tersebut, kata dia, perlu dukungan lintas sektor antara akademisi, industri, dan pemerintah.
“Semoga hasil penelitian yang dilakukan UGM bisa diimplementasikan untuk kemaslahatan umat,” jelasnya.
Rektor Universitas Gadjah Mada, Prof. Ir. Panut Mulyono, M.Eng, D.Eng., menyampaikan Indonesia masih menghadapi sejumlah kendala dalam mewujudkan kemandirian bahan baku obat. Salah satunya sisi regulasi sehingga masih terdapat banyak celah yang menghambat pencapaian upaya itu.
“Di sisi regulasi masih banyak lubang sehingga akan terus mengusahakan dengan pemerintah agar bisa diproduksi dengan bahan baku sendiri sehingga bisa dengan mudah dihilirisasi sampai produk fungsional,” terangnya.
Besarnya ketergantungan impor akan bahan baku obat ini, disebutkan Panut, perlu menjadi perhatian seluruh pihak. Pasalnya, Indonesia memiliki bahan baku yang cukup melimpah, namun belum bisa diolah secara mandiri.
“Semoga kedepan usaha yang telah dilakukan bisa tumbuh dan ditopang dengan regulasi yang baik sehingga bisa menjadi bangsa yang mandiri,” katanya.(Humas UGM/Ika; foto:Firsto)