Bahasa daerah bukan hanya berfungsi sebagai alat komunikasi, namun juga suatu kebudayaan yang menunjukkan ciri khas suatu daerah. Di sebuah pulau terluar yang terletak di Samudra Hindia, bernama Pulau Enggano, terdapat Bahasa Enggano sebagai bahasa daerah masyarakatnya.
Bahasa Enggano memiliki keunikan dalam hal pengucapan. Ia berbeda dengan rumpun bahasa Melayu dan hanya dituturkan secara lisan dari generasi ke generasi. Adapun jumlah penutur bahasa Enggano dibanding total penduduk sebesar 59,19 persen atau 1.424 dari 2.406 jiwa.
Dalam beberapa dekade terakhir telah terjadi perubahan pilihan bahasa berupa alih kode dan campur kode bahasa Enggano ke Bahasa Indonesia dan Melayu Bengkulu. Hal ini dikarenakan adanya interaksi dengan pendatang yang tidak mengerti bahasa Enggano.
“Dalam dunia pendidikan, hingga kini belum bisa merealisasikan wacana muatan lokal berbahasa Enggano. Padahal, muatan bahasa lokal ini telah diajukan sejak 2009 silam,” kata Vina Apriani Nasution, Mahasiswa Departemen Sosiologi, Fisipol UGM, di Kampus, Jumat (20/7).
Hasil penelitian Vina Apriani Nasution bersama Fauzan Hanif, mahasiswa Sastra Prancis, FIB UGM dan M Dian Saputra, mahasiswa Antropologi Budaya, FIB UGM memperlihatkan kurangnya intensitas masyarakat dalam berbahasa Enggano di ranah publik menjadi faktor terjadinya pergeseran bahasa. Para penutur bahasa Enggano justru cenderung memilih bahasa lain saat berada pada ranah yang seharusnya menggunakan bahasa daerah.
“Padahal, kepala suku dan pintu suku di Enggano telah menganjurkan pengajaran bahasa Enggano pada ranah keluarga dan kewajiban untuk menggunakan bahasa daerah ketika dilaksanakan berbagai upacara adat di Enggano,” tutur Vina Apriani.
Tim PKM-PSH UGM yang dibimbing oleh Aprillia Firmonasari, S.S., M.Hum., D.E.A, ini telah melakukan penelitian mengenai bahasa Enggano selama hampir 10 hari, 4 -12 Mei 2018. Tim ini melakukan pelayaran menuju Pulau Enggano yang merupakan bagian administratif Provinsi Bengkulu.
Hasil temuan penelitian menunjukkan bila pengajaran di ranah keluarga dalam hal berkomunikasi masih disampaikan dengan bahasa Enggano, sayangnya anak-anak hanya mengerti makna pengucapan dan mengalami kesulitan manakala mau berkomunikasi menggunakan bahasa tersebut. Kondisi ini ditengarai telah terjadi pergeseran alih generasi dan generasi pewaris dinilai pasif menggunakan bahasa daerah Enggano.
“Dengan pemahaman pasif ini tentu menjadi penghambat ketika proses pengalihan bahasa Enggano kepada generasi berikutnya,” papar Vina.
Menurut Vina sangat disayangkan ketika bahasa Enggano hanya tersistem pada “ingat, terapkan dan bawa mati” tanpa adanya sumber tertulis. Hal tersebut memberi kesan bila bahasa Enggano kurang mendapat perhatian untuk dipertahankan. Mengingat kondisi bahasa yang mengarah kepada pergeseran pilihan bahasa dari para penutur maka PKM-PSH UGM berupaya mendokumentasi bahasa Enggano.
Melalui perekaman dokumentasi linguistik dengan beberapa kepala suku dan pintu suku yang tersebar pada kelima desa di Enggano, disertai referensi para peneliti bahasa Enggano sebelumnya, tim PKM PSH UGM berhasil menerbitkan buku saku bahasa Enggano.
“Buku ini tentu sebagai strategi mempertahankan bahasa Enggano dan diharapkan dapat menjadi sumber referensi pengenalan dan pembelajaran bahasa Enggano,” kata Vina. (Humas UGM/ Agung)