Tragedi 1965 merupakan persitiwa penting dalam sejarah kehidupan bangsa Indoenesia. Tidak hanya menimbulkan banyak korban jiwa, tetapi juga meninggalkan trauma bagi para korban tragedi 1965.
Studi psikologis yang dilakukan oleh Aloysius L.S. Soesilo, M.A., mahasiswa program doktoral UGM, menunjukkan korban tragedi 1965 mengalami penderitaan selama dalam tahanan. Tidak hanya rasa sakit secara fisik, penderitaan terberat terjadi pada psikis dan batin para korban.
Penelitian dilakukan dengan mengkaji sejumlah kecil tulisan tentang riwayat hidup yang berhasil ditulis oleh mantan tahanan politik dalam tiga otobiografi. Tiga otobiografi itu adalah Caramel Budiardjo– Surviving in the Indonesia Gulag (cassel, 1996), Adam Soepardjan-Mendobrak Penjara Rezim Soeharto (Yogyakarta:Ombak, 2004), dan N.H. Atmoko- Banjir Darah di Kamp Konsentrasi: Catatan Harian Aktivis PNI Dalam Penjara G30S (Yogyakarta:Galangpress).
“Selama dalam tahanan mereka juga menjadi saksi atas kematian dan penderitaan sesama tahanan,” jelasnya saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Psikologi UGM, Senin (30/7).
Setiap penderitaan yang mereka saksikan selama dalam tahanan dan kenangan keluarga menjadi materi traumatik. Sementara para korban di dalam tahanan, anggota keluarga sering mengalami stigmatisasi dari lingkungan sosial. Perlakuan ini juga diperoleh korban setelah keluar dari penjara.
“Relasi kekeluargaan tergerus oleh status eks-tapol dan kesulitan ekonomi serta mencari pekerjaan menjadi beban tambahan atas beban traumatik yang telah ada,”papar dosen Fakultas Psikologi Universitas Kristen Satya Wacana ini.
Pengalaman kehilangan dan trauma para korban tidak sekadar dari peristiwa 1965. Namun, kondisi ini terus saja terjadi secara berkelanjutan sesudahnya. Karena dampaknya merebak, Aloyisus menyebutkan trauma tidak bisa dipandang hanya sebagai dinamika intrapsikis, tetapi juga sosio-kultural.
Proses traumatisasi hanya dimengerti dalam konteks sosietal, historis, ideologis, dan diskursif sebab realitas psikososial sebelum, selama, dan sesudah peristiwa traumatik selalu membentuk pengalaman trauma.
“Studi lebih lanjut dapat mengkaji lebih dalam bagaimana dinamika dalam keluarga korban dan transmisi trauma ini kemudian disadari atau tidak berlangsung pada anak keturunan korban,” pungkasnya. (Humas UGM/Ika)