Pelaksanaan pemenuhan hak atas pendidikan dasar dan menengah di kawasan perbatasan Provinsi Kalimantan Barat sejak tahun 2005 sampai 2007 telah secara bertahap dipenuhi oleh pemerintah. Pemenuhan secara bertahap tersebut merupakan pelaksanaan kedaulatan negara sebagai bentuk tanggung jawab untuk menghormati pelaksanaan agenda global dalam pemenuhan hak atas pendidikan yang telah digunakan untuk mengontestasi agenda tersebut dalam pembuatan hukum, kebijakan, program dan pendanaan.
Sayangnya, pelaksanaan pemenuhan hak atas pendidikan dasar dan menengah di kawasan perbatasan Indonesia dan Malaysia di Provinsi Kalimantan Barat memiliki permasalahan, kendala sekaligus tantangan khusus. Semua disebabkan karena situasi dan kondisi tertentu yang ada di wilayah perbatasan.
Terkait situasi dan kondisi ini, terdapat 11 klaster temuan permasalahan pemenuhan hak atas pendidikan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Salah satu klaster permasalahan adalah munculnya “wilayah-wilayah tak berkeinginan sekolah” pada tingkat dasar dan menengah di kawasan perbatasan negara di Provinsi Kalimantan Barat, khususnya di wilayah Sambas, Bengkayang, Sanggau, Sintang dan Kabupaten Kapuas Hulu.
Endah Rantau Itasari, dosen Fakultas Hukum, Universitas Tanjungpura, menyebut “wilayah tak berkeinginan sekolah” muncul di wilayah tersebut karena beberapa faktor khusus, diantaranya minimnya sarana dan prasarana, kecemburuan akibat perbedaan fasilitas dengan negara tetangga, faktor geografis yang membuat enggan para pelaku pendidikan melaksanakan tugas dan fungsi pendidik dan rendahnya alokasi dana pendidikan telah menyebabkan ketertinggalan dan ketimpangan memperoleh akses pendidikan di wilayah-wilayah perbatasan.
Padahal, kawasan perbatasan termasuk sebagai Daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (D3T). Wilayah D3T saat ini menjadi prioritas pembangunan sesuai dengan visi Nawacita karena pada tahun 2015 sebanyak 122 kabupaten telah ditetapkan sebagai daerah tertinggal dan 43 daerah terdepan dan terluar berdasar Surat No. 2421/Dt.7.2/04/2015 tanggal 21 April 2015 oleh Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Kemen PPN/BAPPENAS).
“Munculnya masalah tersebut menjadi relevan untuk dikaji secara ilmiah terhadap regulasi, kebijakan dan program serta alokasi anggaran yang ditetapkan pemerintah, baik pemerintah pusat maupun daerah terkait sektor pendidikan dasar dan menengah di kawasan perbatasan,” katanya, di Fakultas Hukum UGM, Senin (30/7) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Menurut Itasari, dalam tataran normatif untuk memastikan pemenuhan kebutuhan masyarakat akan pendidikan yang layak, negara memiliki kewajiban memastikan penyediaan sistem pendidikan dan kurikulum yang memadai. Selain itu, juga penyediaan beasiswa, sarana dan prasarana, meningkatkan kualitas mutu tenaga pendidik guru maupun dosen.
“Kewajiban-kewajiban yang terkandung dalam ICESCR, sistem pendidikan yang ditetapkan pemerintah harus menjangkau semua warga negara sehingga semua itu dapat diakses secara bebas tanpa diskriminasi dan secara ekonomi dan psikologis dapat diterima, serta sifatnya yang dapat menyesuaikan diri dengan perkembangan zaman,” terangnya.
Ia menuturkan pada tataran legislasi meskipun telah ada Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), namun belum terdapat peraturan daerah yang mengatur khusus mengenai masalah pendidikan dasar dan menengah di kawasan perbatasan. Hal ini merupakan konsekuensi dari pelaksanaan UU Pemerintahan Daerah Nomor 23 Tahun 2014. Dalam UU tersebut dijelaskan tentang urusan pendidikan yang masih merupakan urusan pemerintah pusat.
“Dengan demikian, daerah tidak mengatur hal itu lebih lanjut pada tataran legislasi daerah. Dengan kebijakan pemerintah saat ini mestinya kondisi pemenuhan hak atas pendidikan bagi masyarakat di kawasan perbatasan menjadi salah satu prioritas,” katanya.
Mempertahankan disertasi Pelaksanaan Pemenuhan Hak Pendidikan Dasar dan Menengah Berdasarkan Ketentuan The International Covenant on Economic, Social and Cultural Rights di Kawasan Perbatasan Negara di Provinsi Kalimantan Barat, Itasari dalam penelitiannya menemukan faktor teknis, faktor geografis dan faktor implementasi ketentuan peraturan perundang-undangan yang belum sinkron dan komplet. Padahal, faktor-faktor tersebut menjadi penentu pemenuhan hak pendidikan dasar dan menengah di kawasan perbatasan di Provinsi Kalimantan Barat.
“Faktor penentu tersebut membentuk peluang dan tantangan riil di lapangan yang berbeda dengan ketentuan normatif yang mengaturnya. Faktor-faktor tersebut berbeda dengan wilayah lainnya,” terangnya. (Humas UGM/ Agung)