Topik tentang run-up banyak terdapat dalam literatur hidrodinamika maupun rekayasa pantai. Pada kasus tsunami, fenomena ini termasuk sulit dimodelkan terutama ketika berinteraksi dengan variabel yang dilewatinya, seperti profil pantai dan sistem mitigasi yang ada daratan.
Mahasiswa program doktor Benazir mengembangkan metode simulasi run-up tsunami dan aplikasinya pada beberapa kasus tsunami di Indonesia.
“Pentingnya pemahaman tentang run-up tsunami dikarenakan kontribusinya secara langsung terhadap kerusakan di daratan pentai sehingga menimbulkan suatu tantangan tersendiri secara konseptual dan matematis,” tuturnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Senin (30/7).
Penelitian yang ia lakukan diklasifikasikan dalam tiga skema penelitian, yaitu skema pertama yang meliputi proses evolusi gelombang mulai dari sumber pembangkitan, penjalaran di kedalaman konstan dan transaksi, serta run-up di pantai berkemiringan seragam, sementara skema kedua adalah tinjauan interaksi run-up tsunami terhadap model vegetasi hipotetik sebagai sistem mitigasi. Skema ketiga adalah pengembangan dan implementasi nested grid untuk studi kasus tsunami di Teluk Pacitan, Jawa Timur.
Penelitian yang ia lakukan menghasilkan beberapa kesimpulan, di antaranya bahwa pembangkitan tsunami dengan metode Dam Break menghasilkan bentuk gelombang yang berupa surge, yaitu gelombang bersifat breaking di perairan dangkal dan daratan sehingga mirip dengan bentukan fisik tsunami ketika mendekati dan tiba di daratan pantai.
Perbandingan run-up tsunami berdasarkan hasil model numerik terhadap hasil model fisik, ujarnya, kesesuaian datanya memang tidak persis tepat, yaitu deviasinya mencapai 9.64-20.61% untuk seluruh data dengan hasil model numerik lebih besar daripada model fisik.
“Hal ini dipengaruhi oleh komputasi model numerik yang dibangun berdasarkan teori gelombang perairan dangkal memiliki ketidakmampuan dalam menyelesaikan permasalahan konveksi bertikal, gelombang pecah, dan aspek-aspek yang terkait dengan turbulensi,” imbuhnya.
Meskipun demikian, karakteristik penting dalam simulasi tsunami, seperti penjalaran, limpasan, dan genangan telah mampu diselesaikan dengan baik dengan bantuan tambahan beberapa suku persamaan pada persamaan pengatur berdasarkan SWE tersebut.
Pengembangan dan implementasi Nested Grip ia sebut mendukung pemodelan tsunami dengan variasi ukuran grid atau resolusi data yang beragam dalam sekali komputasi. Proses run-up menjadi lebih detail sehingga pemetaan area genangan lebih rinci pada studi kasus tsunami di Telok Pacitan.
Ia menambahkan, hasil model menunjukkan bahwa tsunami tiba di garis pantai setelah 24 menit dengan tinggi gelombang mencapai 6,9 m. Run-up dan panjang rendaman di lokasi studi tidak hanya dipengaruhi oleh skala tsunami yang diskenariokan serta morfologi dan kondisi topografinya tetapi juga ditentukan oleh keberadaan dan kondisi dari vegetasi pantai di sepanjang daratan teluk tersebut.
“Tingkat keberhasilan hutan pantai dalam mereduksi tsunami berkisar 12,98-51,85% dan sangat tergantung dengan kondisi pertumbuhan tiap sektor vegetasi,” jelasnya. (Humas UGM/Gloria)