“Kejahatan narkotika menyerang negara dari dalam. Hal itu tergolong sebagai kejahatan yang dahsyat. Sementara itu, kebijakan hukuman pidana mati pada produsen serta pengedarnya tidak memiliki status yang jelas,” ujar Prof. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum., selaku promotor.
Penuturan Marcus itulah yang menjadi latar belakang singkat Faissal Malik dalam menyusun disertasinya. Hal itu disampaikannya pada ujian terbuka untuk memperolah derajat doktoral bagi Faissal Malik di Ruang III-1.1 Fakultas Hukum UGM pada Senin (30/7) siang.
Marcus menjabarkan ide dasar dari disertasi Faissal ada tiga hal. Ketiga hal itu, yakni ide dasar pidana mati, eksekusi pidana mati, dan harapan pengaturan pidana mati bagi produsen dan pengedar narkotika memenuhi kepastian hukum.
Ia melanjutkan sebenarnya pembahasan mengenai ancaman pidana mati sudah sering diperdebatkan dalam pembahasan hukum internasional. Dirinya mempertanyakan kebaruan yang dibawa oleh Faissal dalam disertasinya.
Menurut Faissal, penelitian-penelitian terdahulu banyak menghubungkan pidana mati dengan Hak Asasi Manusia (HAM). Sementara dirinya lebih memfokuskan pada ide dasar, tepatnya tentang kebijakan hukum pidana mati itu sendiri.
“Saya melihat selama ini tidak ada ketetapan pelaksanaan eksekusi mati yang jelas. Ada yang pada akhirnya dieksekusi ada yang tidak. Norma hukum yang dipakai belum memadai karena hanya merujuk Undang-Undang (UU) semata. Padahal, di UU tidak mengatur waktu pelaksanaan, hanya tentang tata caranya saja,” ungkapnya.
Hal itu disebabkan adanya dua kutub yang berseberangan dalam pembahasan tentang pidana mati ini, yaitu antara golongan abolisonis dan retensionis. Golongan abolisionis cenderung menolak pidana mati karena dinilai melanggar HAM. Sementara, golongan retensionis mendukung terlaksananya pidana mati karena hal itu mengancam manusia dalam negara, lebih luasnya di dunia.
Dr. Supriadi, S.H., M.Hum., selaku penguji, menyatakan sebenarnya sekarang ini telah muncul kutub baru dalam perdebatan tadi. Kutub yang dimaksud Supriadi adalah kompromis. Kemunculan terjadi, lanjut Supriadi, ketika hukuman pidana mati tadi terlaksana atau batal terlaksana karena faktor-faktor lain di luar yang tercantum di hukum, seperti politik atau ekonomi.
Hal itu dibenarkan oleh Faissal. Menurutnya, variabel politik dan ekonomi memang tidak bisa dipisahkan dalam pidana mati ini. Oleh karena itu, ia mengusulkan perubahan hukuman acara pidana ke depannya untuk terpidana hukuman mati. “Normanya harus diperjelas sehingga terdapat keadilan dalam putusannya,” tegas Faissal.
Ia berpendapat jika usulannya diterima, hal itu akan menyelamatkan masa depan bangsa Indonesia ini. Hal itu karena produk hukum dengan kepastian yang jelas akan memberi rasa tenang kepada masyarakat. “Masyarakat akan merasa aman dari ancaman narkotika ketika kepastian hukum ditegakkan,” pungkas Faissal. (Humas UGM/Hakam)