Karakteristik hidrokimia di mintakat epikarst memiliki variasi temporal, baik secara musiman dan harian. Variasi tersebut didominasi oleh tipe kimia HCO?¯ dan Ca²?. Kondisi tersebut dipengaruhi oleh sistem akuifer karst terbuka dengan lorong yang telah berkembang dan pada musim hujan didominasi oleh aliran konduit, sedangkan di musim kemarau didominasi aliran difuse epikarst.
Demikian dikatakan Pipit Wijayanti, S.Si., M.Si, dosen program studi pendidikan geografi, Fakultas KIP, Universitas Sebelas Maret, Surakarta, saat saat menjalani ujian terbuka program doktor di Fakultas Geografi UGM, belum lama ini.
Menurut Pipit, karakteristik serapan karbon di mintakat epikarst bervariasi terhadap musim dan sangat tergantung pada suplai karbon dioksida. Suplai karbon pada musim hujan dipengaruhi oleh tipe aliran konduit, sedangkan di musim kemarau oleh respirasi tanah dan perakaran.
“Tanaman berperan memperbesar serapan CO2 yang tergantung pada jenis dan umur tanaman,” katanya.
Dalam disertasi berjudul Karakteristik Hidrokimia dan Neraca Karbon di Mintakat Epikarst, Pipit menyebut kekeringan merupakan masalah yang sering melanda masyarakat di daerah Karst, termasuk Karst Gunungsewu. Oleh karena itu, untuk membantu petani diperlukan tanaman-tanaman yang mampu bertahan dengan air yang minim.
Pemilihan tanaman tersebut, kata Pipit, untuk mendapatkan produksi yang tinggi di saat musim kemarau. Dengan demikian, kekeringan diharapkan tidak selalu diiikuti kegagalan panen yang terkadang mengancam pada kondisi bahaya kelaparan.
“Tanaman kacang merupakan salah satu pilihan, sebab ia mengonsumsi air terkecil dengan serapan karbon tertinggi. Hal itu menunjukkan bila Kacang mampu bertahan hidup di daerah karst,” ucapnya.
Berkaitan dengan serapan karbondioksida ini, kata Pipit, tanaman kacang mampu memberikan serapan karbondioksida 9 kali lebih baik dari pada serapan Karbondioksida pada lahan kosong. Sedangkan pertumbuhan tanaman kacang yang baik di tanah Karst tanpa tambahan suplemen memberikan keuntungan bagi air tanah di karst.
“Karst dengan sistem prositas sekunder menjadi rawan terhadap pencemaran air tanah. Sumber pencemaran dihasilkan dari aktivitas pertanian sehingga pupuk yang dipergunakan dalam pertanian langsung menuju sistem air tanah melalui ponor,” pungkasnya. (Humas UGM/ Agung)