Minyak nilam adalah komoditas ekspor yang bernilai ekonomi tinggi. Di pasaran, harga minyak nilam mencapai kisaran 600 ribu rupiah hingga 1,5 juta rupiah.
Dengan kisaran harga seperti itu maka menarik banyak usahawan membuka bisnis dalam bidang minyak nilam. Agar dapat dipasarkan dengan baik untuk konsumsi industri dalam negeri maupun ekspor, minyak nilam perlu diolah lagi agar memenuhi persyaratan Standard Nasional Indonesia (SNI).
“Berbagai teknik pengolahan minyak nilam telah dikembangkan oleh peneliti, namun hanya sedikit yang benar-benar memenuhi persyaratan SNI,” ujar Prof. Dr. Karna Wijaya, M.Eng di Departemen Kimia, FMIPA UGM, Kamis (19/8).
Oleh karena itu, sebagai bentuk pengabdian kepada masyarakat berbasis pemanfaatan hasil penelitian dan penerapan teknologi tepat guna yang diselenggarakan oleh LPPM UGM, ia bersama Nasih Widya Yuwono, S.P., M.P dari Departemen Ilmu Tanah, Fakultas Pertanian UGM berkolaborasi mengembangkan distiler hemat energi. Distiler yang dikembangkan ini dilengkapi dengan heat insulator sehingga dapat mengurangi transfer panas yang keluar dan efektif digunakan untuk proses distilasi.
Menurut Karna Wijaya distiler ini mampu menghemat biaya bahan bakar hingga 35,5 persen. Sementara waktu distilasi mencapai 33,3 persen lebih hemat dibanding dengan teknologi distilasi yang biasa digunakan di UMKM.
“Teknologi ini juga dilengkapi dengan perangkat pemurni menggunakan adsorben komposit bentonit-CaO sehingga diperoleh minyak nilam yang memenuhi syarat mutu SNI dan telah teruji di Laboratorium Kimia Fisika dan LPPT UGM,” katanya.
Karna Wijaya menjelaskan program yang dimulai sejak bulan April ini telah menggandeng CV. Fruitanol Energy sebagai mitra. Bersama mitra telah melakukan uji coba distiller dan perangkat pemurnian minyak nilam sebelum diserahkan ke UMKM Surya Wulan di Gerbosari, Samigaluh, Kulonprogo.
Dalam uji coba ini melibatkan dua mahasiswi Kimia pada proses pembuatan adsorben komposit bentonite-CaO. Dengan adanya program ini diharapkan dapat mendorong UMKM untuk berkembang menjadi lebih produktif, mandiri dan berkelanjutan serta tetap memperhatikan aspek penghematan energi.
“Selain itu, dengan pengembangan alat ini terjalin networking antara perguruan tinggi dan dunia usaha/UMKM lokal,” tandas Karna Wijaya. (Humas UGM/ Agung)