Perkebunan kelapa sawit (elais guineensis) dengan skema kemitraan merupakan mekanisme penggabungan pekebun kecil ke dalam ekonomi komoditas global dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan pekebun. Sayang, beberapa kajian memperlihatkan pekebun plasma akan tergantung atau tidak mandiri, tidak dapat berkembang bahkan sebagian dari mereka tereksklusi dari perkebunan.
Dengan demikian, pola kemitraan perkebunan sebagai bentuk pertanian kontrak (contract farming) tidak menjamin pekebun kecil berada pada posisi yang baik dan mendapatkan manfaat seperti yang diharapkan. Bahkan, para pekebun sangat mungkin masuk ke dalam relasi asimetris yang merugikan, atau disebut adverse incorporation sehingga pekebun kecil terinklusi secara tidak menguntungkan ke dalam sistem perkebunan global melalui skema kemitraan.
“Fakta tersebut tentu berseberangan dengan asumsi dan rancangan ideal-normatif dari skema perkebunan kemitraan itu sendiri, maupun fakta konkret bahwa minat pekebun kecil pada pola kemitraan perkebunan masih berlanjut hingga sekarang,” ujar Sukapti, S.Sos., M.Hum, di Fakultas Ilmu Budaya UGM, Rabu (15/8) saat menempuh ujian terbuka program doktor ilmu-ilmu humaniora.
Sukapti menuturkan berdasarkan kajian pada tiga pola kemitraan perkebunan antara pekebun Desa Sawit Jaya dan PTPN XIII dihasilkan beberapa temuan penting. Hasil penelitian tersebut diantaranya konteks politik memengaruhi posisi dan aktor pada relasi perkebunan.
Posisi pekebun meningkat ketika mengusai faktor produksi kebun yang sebelumnya diposisikan sebagai pekerja dalam relasi produksi. Peningkatan posisi pekebun tersebut merupakan hasil dari upaya-upaya pekebun memanfaatkan peluang demokratisasi di era reformasi untuk menuntut hak akses terhadap tanah, kesetaraan posisi kuasa dan keadilan dalam memperoleh keuntungan ekonomi.
Sukapti menyebut pada relasi kemitraan di era Orde Baru dalam pola Perkebunan Inti Rakyat (PIR) ditandai dengan kuatnya dominasi perusahaan terhadap pekebun plasma. Pekebun tersubordinasi dan pada pola ini posisi pekebun plasma dalam struktur hierarki kemitraan berada di level bawah.
“Pekebun disejajarkan dengan buruh. Mereka tidak memiliki peran dan kuasa dalam pengambilan keputusan pada proses produksi,” tutur dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, Universitas Mulawarman, Samarinda.
Sementara pada era reformasi, pekebun mampu mengakses dan mengontrol kebun sehingga posisi kuasanya setara dengan perusahaan. Skema kemitraan dengan pola KKPA dan PSM lebih mencerminkan kesetaraan dengan posisi pekebun sebagai pemilik kebun bukan lagi hubungan atas-bawah.
“Kondisi tersebut menyediakan ruang partisipasi yang lebih besar bagi pekebun dalam pengambilan keputusan atau perencanaan terkait pengelolaan kebun dan kemudian mengambil keuntungan yang diinginkan,” katanya.
Siasat pekebun untuk mencapai kepentingannya juga mengalami perubahan sifat atau pola. Pada awalnya, siasat pekebun cenderung bersifat terselubung dan berpura-pura untuk mengurangi kondisi tertekan, namun kemudian siasat berubah menjadi lebih terbuka, terang-terangan, konfrontatif, rasional dalam berargumentasi dan sudah memanfaatkan isu dan melibatkan aktor dari luar komunitas.
“Perubahan pola ini menegaskan adanya peningkatan kapasitas bernegosiasi para pekebun,” ujar Sukapti yang mempertahankan disertasi Di Bawah Payung Kemitraan: Perangkap Perkebunan Sawit dan Siasat Pekebun, dengan bertindak selaku promotor Prof. Dr. Heddy Shri Ahimsa Putra, M.A., M.Phil dan ko-promotor, Dr. Bambang Hudayana, M.A. (Humas UGM/ Agung)