Dosen Bagian Parasitologi Fakultas Kedokteran UGM Hewan, Dr. drh. R. Wisnu Nurcahyo, mendapat penghargaan dari Kemenristekdikti sebagai penulis dan peneliti terproduktif di tingkat Perguruan Tinggi Negeri di Pulau Jawa. Ia dinilai sebagai peneliti yang paling banyak melakukan kerja sama dan bermitra dengan peneliti asing untuk kegiatan publikasi internasional. Penghargaan diberikan oleh Dirjen Penguatan Riset dan Pengembangan Kemenristek Dikti di Jakarta 5 Juli 2018 lalu.
Ditemui di ruang kerjanya di FKH UGM, Rabu (29/8), Wisnu menyampaikan apresiasinya atas penghargaan yang diberikan pemerintah padanya. Bagi Wisnu, penghargaan tersebut merupakan hasil atas dedikasi dan ketekunanya selama 18 tahun menggeluti riset satwa liar yang bisa dikatakan selama ini minim pendanaan dari dalam negeri. Seperti diketahui, riset yang dilakukan oleh Wisnu sejak tahun 2.000-an adalah meneliti perilaku dan penyakit parasitologi pada orang utan. Dari penelitiannya yang cukup unik ini akhirnya Wisnu mendapat mitra kerja dari peneliti asing yang memiliki perhatian dan riset yang sama pada satwa yang keberadaannya semakin langka ini.
Wisnu bercerita ia mulai tertarik meneliti orang utan berawal dari ketertarikannya pada kehidupan satwa liar. Setelah diterima menjadi dosen pada dekade 1990-an, ia mengikuti berbagai seminar dan dikusi tentang satwa liar. Dari seminar ke seminar, ia pun mendapat banyak rekan peneliti dari luar negeri yang memiliki perhatian sama pada satwa orang utan. Hingga akhirnya mereka sepakat melaksanakan kolaborasi riset bersama dengan mengajukan pendanaan dari lembaga dan mitra luar negeri.“Awalnya tidak banyak orang yang tertarik menekuni riset ini. Bayangkan, sejak 1992 saya rela naik turun kereta ekonomi dan bus menghadiri setiap kali ada seminar di Jakarta,” kenang Wisnu.
Saat ia menempuh pendidikan doktor di Jerman pun tahun 1994-1998, Wisnu memiliki sahabat yang mengajaknya berkolaborasi riset untuk meneliti tentang orang utan. Tidak hanya dari Jerman, hingga akhirnya Wisnu juga memiliki mitra kerja dari Republik Ceko, Amerika Serikat, Perancis, dan Belgia. Selama 18 tahun menekuni riset tentang orang utan sedikitnya sudah 17 publikasi internasional yang dihasilkannya, bahkan beberapa diantaranya telah dibukukan dan diterbitkan oleh Universitas Oxford. “Semua publikasi ini mengenai kehidupan primata, ada orang utan, ada Makaka dan Gibbon. Umumnya primata semua,” kata pria kelahiran Klaten 53 tahun silam ini
Keluar Masuk Hutan
Wisnu bercerita saat awal meneliti kehidupan orang utan tidaklah mudah. Ia harus rela keluar masuk hutan di pedalaman Kalimantan dan Sumatera. Bersama dengan peneliti asing lainnya, mereka berbagi tugas untuk mengawasi satu orang orangutan untuk satu peneliti saat berada di dalam hutan.
Untuk mencari keberadaan orang utan di hutan lebat Kalimantan, mereka tidak segan-segan menyewa pemandu lokal yang tidak lain suku asli orang Dayak. Apalagi, orang utan suka tinggal di pohon yang tingginya mencapai 20-30 meter. “Kita menyewa orang lokal, tidak lain orang Dayak. Orang Dayak punya kemampuan magic, mereka bisa mencium bau orang utan. Dengan membakar kemenyan, mereka menunjuk arah yang ada orang utan. Kita pun naik perahu klotok karena masih banyak rawa, kita tunggu di lokasi yang disebutkan hingga sampai ada suara orang utan,” kenangnya.
Penelitian yang mereka lakukan untuk mengidentifikasi penyakit orang utan maka mereka harus menunggu waktu defekasi (buang air besar) orang utan yang biasanya terjadi di pagi hari. Dengan demikian, pagi subuh mereka sudah berangkat agar bisa mendapatkan feses orang utan. “Setelah buang air besar, kita ambil fesesnya, lalu kita teliti apa yang ia makan, daun apa. Kita ambil daun itu, kita ambil, kita korelasi dengan hasil feses,” kata pria yang mendapat penghargaan Best Young Scientist dari Masaryk University Brno, Republik Ceko pada 2015 lalu.
Menurut Wisnu dedaunan dan buah-buahan yang dikonsumsi oleh orang utan memengaruhi jenis penyakit parasit yang diderita orang utan. Bahkan, dari dedaunan yang tumbuh di alam ternyata juga mengandung senyawa anti parasit yang bisa mengobati orang utan sendiri.”Setelah mengetahui penyakitnya, kita ingin mengidentifikasi bahan obat alam yang ada di alam dan bisa mengobati orang utan dengan sendirinya. Misalnya, orang utan kalau tubuhnya bengkak karena digigit lebah, lalu ia turun dari pohon mengambil daun mirip pandan, dikunyah, lalu ditempel ditempat yang digigit, sepuluh menit kempes,” tuturnya.
Menurut Wisnu, dedaunan yang dikonsumsi orang utan diambil untuk diidentifikasi dan diteliti kandungan senyawanya di laboratorium. Banyak dari tumbuhn yang dikonsumsi tersebut mengandung obat anti parasit. ”Kita teliti lagi, kita kerja sama dengan Fakultas Kehutanan (UGM) untuk identifikasi tanaman hutan, lalu di LIPI kita teliti kandungan senyawanya,” katanya.
Selain itu, Wisnu juga memiliki pengalaman yang unik saat mengambil sampel orang utan di pedalaman Sumatera. Ia bersama dengan salah satu mahasiswa yang kebetulan berada di urutan belakang rombongan, tiba-tiba tas ransel yang ada di punggungnya ditarik oleh orang utan yang berada di atas pohon, dengan begitu mahasiswa tersebut terangkat hingga 1-2 meter.
“Saya meminta mahasiswa itu untuk melepaskan tas ranselnya, hingga ia terjatuh ke tanah. Tas itu dibawa orang utan ke atas pohon, ia hanya mengambil stabilo di dalam tas, tasnya dibuang, ternyata orang utan tertarik dengan warna yang kelihatan mencolok,”katanya.
Penelitian terhadap perilaku, jenis penyakit dan pakan alam yang dikonsumi ini, menurut Wisnu, bisa diterapkan untuk kepentingan kegiatan rehabilitasi orang utan. Menurutnya, di pusat rehabilitasi nantinya bisa ditanami tumbuhan dan jenis buah-buahan yang mengandung bahan jenis-jenis obat-obatan yang ada di hutan sehingga bermanfaat bagi orang utan ketika suatu saat dilepas kembali ke hutan.
Penelitian yang dilakukannya selama 18 tahun ini menyebabkan ia bisa mendapatkan data soal perilaku, pola makan, kegiatan harian orang utan hingga kebiasaan orang utan membuat sarang. Sementara itu, penyakit yang paling dominan dan bersifat Zoonopsis diderita orang utan, diantaranya tbc, bakteri pad buah seperti salmonella, E.colli yang patogen, virus hepatitis dan ada juga virus yang belum teridentifikasi pada orang utan. “Namun, kalau untuk parasit paling banyak diderita adalah malaria, cacing, dan penyakit yang disebabkan protozoa,” katanya.
Meski tetap setia menekuni riset tentang orang utan, Wisnu dalam tiga tahun terakhir juga menginisiasi gerakan konservasi Gajah Sumatera. Ia bekerja sama dengan pusat rehabilitasi gajah, melatih para dokter hewan dan pawang gajah untuk meningkatkan kemampuan mereka merawat kesehatan gajah. “Kita temukan banyak gajah yang mati karena parasit cacing,” paparnya.
Kepeduliannya pada konservasi orang utan dan gajah akan terus dilakukan karena populasi kedua hewan langka ini makin terancam berkurang jumlah habitatnya akibat pembukaan lahan dan kebakaran hutan serta perburuan liar. “Popualsi orang utan di alam liar diperkirakan masih sekitar 10.000-an di Kalimantan dan Sumatera, sementara gajah jinak ada 249 ekor di pusat penangkaran, gajah liar di alam sekitar 2.000-an,” pungkas Wisnu. (Humas UGM/Gusti Grehenson)