Kondisi dan cara penegakan hukum dalam pemberantasan tindak pidana korupsi saat ini terutama pasca reformasi di Indonesia telah mengedepankan presumtion of corruption bukan sebaliknya. Praktik penegakan hukum ini diperkuat dengan kondisi kebebasan pers yang luar biasa.
Dengan kondisi semacam itu maka membuat tersangka/ terdakwa tindak pidana korupsi mengalami dua kali degradasi kemanusiaannya, yaitu ketika dinyatakan tersangka dan ketika dimuat dalam harian nasional (trial by the press). Bahkan, dapat dikatakan hampir semua tersangka atau terdakwa tindak pidana korupsi selama ini telah disebut sebagai koruptor, meskipun proses peradilan yang dijalaninya belum ada putusan yang memvonis.
“Tentunya hal ini bukanlah sesuatu yang diinginkan oleh hukum itu sendiri karena sebutan demikian hanya dapat disematkan kepada pelaku tindak pidana korupsi yang telah divonis bersalah oleh pengadilan,” ujar Hendry Julian Noor, S.H., M.Kn, di Fakultas Hukum UGM, Senin (17/9) saat menempuh ujian terbuka program doktor.
Hendry Julian menuturkan banyaknya direksi atau jajaran direksi BUMN tersandung kasus korupsi selama ini karena kebijakan-kebijakan yang diambil dianggap melanggar hukum. Para direksi dan jajaran direksi yang terjerat kasus korupsi tersebut karena adanya penafsiran yang multitafsir terhadap keuangan negara, yaitu aparat penegak hukum kerap kali mencampuradukkan sifat melawan hukum dalam ranah hukum publik dan ranah hukum privat.
Pemidanaan yang dilakukan terhadap direksi BUMN (terkait kebijakan ataupun keputusan bisnisnya) seringkali dinilai tidak tepat karena ketidakpahaman perihal BUMN, kerugian keuangan negara dan kebijakan bisnis. Dalam kondisi seperti ini maka kepada aparat penegak hukum, termasuk kepada Kepolisian, Kejaksaan, Komisi Pemberantasan Korupsi dan Hakim harus mampu memahami dengan baik sifat dan karakteristik dari BUMN yang terikat dengan doktrin badan hukum dan beberapa peraturan perundangan-undangan lain yang membawahi BUMN.
“Semua ini diperlukan agar dalam pemeriksaan dengan dugaan korupsi yang diduga melibatkan direksi BUMN dapat dilakukan dengan hati-hati dan berkesesuaian dengan prosedur-prosedur teori yang melingkupi,” tutur Hendry Julian, dosen Hukum Administrasi Negara, Fakultas Hukum UGM.
Mempertahankan disertasi Kerugian Keuangan Negara Dalam Pengelolaan Badan Usaha Milik Negara Berbentuk Perseroan Terbatas Perspektif Hukum Bisnis dan Tindak Pidana Korupsi, ia mengungkapkan terkait disharmoni perihal pengaturan kekayaan keuangan BUMN dan perihal keuangan negara maka sebaiknya pemerintah dan DPR sebagai legislator pembuat undang-undang agar dapat memberikan jalan keluar terhadap sengketa pendapat dan tumpang tindihnya peraturan perundang-undangan yang mengatur perihal kekayaan BUMN ini. Hal ini, agar dapat menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan, tidak hanya bagi BUMN dan organ-organnya namun juga untuk pemerintah.
“Tujuan akhirnya adalah agar BUMN dapat memberikan performa yang maksimal tanpa dibayang-bayangi tuduhan korupsi jika ada kerugian yang ditimbulkan dari kebijakan atau keputusan bisnisnya,” katanya.
Dengan potensi dan sumber daya yang begitu besar maka para praktisi bisnis BUMN perlu memahami meskipun “kekayaan” yang ada di BUMN secara hukum “milik” dari BUMN itu sendiri, termasuk dalam hal terjadi kerugian. Oleh karena itu, yang perlu diingat adalah segala sesuatu yang terjadi tentu akan berpengaruh bagi perekonomian, khususnya pada pendapatan negara.
“Semakin berkembang dan majunya pendapatan BUMN tentu semakin membuat besarnya deviden yang akan masuk pada pendapatan negara. Untuk itu, praktisi bisnis BUMN harus berupaya semaksimal untuk kemajuan tersebut dengan itikad dan tanggung jawab dalam melaksanakan tugas dan kewajiban yang diberikan kepadanya,” kata Hendry Julian didampingi promotor Dr. Paripurna, S.H., M.Hum., LL.M dan ko-promotor Prof. Dr. Eddy O.S. Hiariej, S.H., M.Hum dan Prof. Dr. Marcus Priyo Gunarto, S.H., M.Hum. (Humas UGM/ Agung).