Eksistensi hukuman pidana mati telah sekian lama menuai kontroversi di berbagai belahan dunia.
Mahasiswa doktoral Fakultas Hukum UGM, Muhammad Luthfie Hakim, meneliti pelaksanaan pidana mati, khususnya yang dilakukan di muka umum, dalam hukum Islam, serta relevansinya dengan efek jera di Indonesia.
“Polemik tentang masih perlu tidaknya penerapan pidana mati timbul tenggelam seiring dinamika politik hukum negara bersangkutan. Tetapi di negara yang sepenuhnya menerapkan hukum Islam perdebatan tentang eksistensi pidana mati praktis tidaklah terjadi,” ucapnya saat mengikuti ujian terbuka program doktor pada Jumat (21/9) lalu.
Isu paling sentral yang menimbulkan perdebatan, jelas Luthfie, berkaitan dengan pertanyaan mendasar apakah hak hidup yang merupakan hak yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun bersifat mutlak atau masih dapat dibatasi dengan suatu peraturan perundang-undangan.
Di negara-negara yang menerapkan hukum Islam, perdebatan seperti ini tidak terjadi karena pidana mati memang diyakini oleh umat Islam sebagai bagian dari perintah Allah SWT yang tidak boleh dibantah sesuai dengan iman yang mereka yakini.
Meski demikian, ia menambahkan bahwa pidana mati tidak secara mutlak harus ditegakkan mengingat adanya alternatif lain yang dapat menggugurkannya, yakni kemaafan dari si pelapor atau keluarga korban dan kompensasi pembayaran diyat.
“Pemaafan ini bahkan disebut Sayyid Qutub sebagai anjuran yang paling tinggi nilainya,” imbuh pria yang saat ini menjabat sebagai Sekretaris Komisi Hukum dan Perundang-undangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat.
Secara lebih spesifik, dalam disertasinya Luthfie berbicara mengenai relevansi pelaksanaan pidana mati di muka umum untuk memberikan efek jera yang menurutnya cukup nyata. Hal ini dilihat dari statistik tingkat kejahatan berat, seperti pembunuhan, perampokan, atau pemerkosaan di negara-negara yang masih menerapkan pelaksanaan pidana mati, terlebih lagi yang pelaksanaannya dilakukan di muka umum, yang lebih rendah dibandingkan dengan negara yang relah mengabolisi hukuman mati atau melaksanakan pidana mati tidak di muka umum.
Ia memaparkan dasar filosofis pelaksanaan pidana mati di muka umum, yaitu sebagai upaya mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi perlindungan dan pengayoman masyarakat, juga sebagai upaya untuk memulihkan hubungan pelaku dengan korban, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan akibat tindak pidana, memulihkan keseimbangan, serta mendatangkan rasa aman dan damai dalam masyarakat.
“Ini juga sebagai sarana bagi pelaku untuk membebaskan rasa bersalah atau menumbuhkan rasa penyesalan dengan menjalani hukuman pidana di muka umum,” kata Luthfie. (Humas UGM/Gloria)