Selain tindakan pencegahan dan pemberantasan, pengembalian aset merupakan salah satu upaya yang dilakukan untuk menanggulangi korupsi.
Meski berpotensi mengembalikan kerugian negara, dalam pelaksanannya masih terdapat isu hukum tentang adanya kendala sita aset perkara tindak pidana korupsi.
“Keberhasilan dalam pengembalian aset secara perdata patut diapresiasi, namun pengembalian aset tersebut belum optimal karena masih banyak jumlah kerugian yang belum kembali,” tutur Agustinus Herimulyanto saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Hukum UGM, Jumat (5/10).
Hasil penelitian yang dilakukan Agustinus terkait isu ini ia tuangkan dalam disertasinya yang berjudul “Sita Aset Berbasis Nilai dan Pembuktian dalam Pengembalian Aset Tindak Pidana Korupsi di Indonesia”.
Ia menjelaskan pengembalian aset merupakan rangkaian proses atau tahapan yang dimulai dari pengumpulan bahan keterangan atau intelijen, bukti-bukti, penelusuran aset, pembekuan dan penyitaan aset, proses persidangan, pelaksanaan penetapan atau putusan pengadilan, hingga penyerahan aset kepada negara.
Pengembalian aset sendiri menjadi tanggung jawab seluruh lembaga penegak hukum yang berwenang melakukan penyidikan atau penuntutan tindak pidana korupsi, dalam hal ini yaitu Kepolisian RI, Kejaksaan RI, serta Komisi Pemberantasan Korupsi. Upaya ini, ujar Agustinus, terkendala oleh sulitnya membuktikan hubungan antara aset dan tindak pidana karena penyitaan dan perampasan yang diatur dalam KUHAP dan KUHP masih berbasis properti.
“Dari sisi substansi hukum terdapat beberapa kelemahan, misalnya aturan penyitaan berdasarkan KUHAP dikonstruksikan untuk kepentingan pembuktian tindak pidana, tidak untuk kepentingan pengembalian aset,”terang pria yang menjabat koordinator pada Kejati Maluku Utara ini.
Agustinus menambahkan sistem sita aset berbasis nilai sebagaimana dikatakan dalam Pasal 31 UNCAC 2003 lebih prospektif diterapkan dalam upaya pengembalian aset, yaitu dengan mekanisme sita aset pengganti sejak penyidikan sampai nilai yang setara dengan nilai aset tindak pidana korupsi.
Sistem ini, menurutnya, lebih memudahkan pembuktian karena tidak perlu membuktikan hubungan antara aset pelaku dengan tindak pidana korupsi, melainkan cukup membuktikan nilai aset tindak pidana korupsi kemudian dilakukan sita aset bernilai setara.
“Sistem ini juga prospektif karena bersesuaian dengan pembuktian tindak pidana korupsi yang mengarah pada nilai kerugian keuangan negara ataupun nilai aset tindak pidana korupsi, dan dapat menjangkau nilai manfaat atau keuntungan dari hasil tersebut, termasuk kenaikan nilai karena apresiasi terhadap aset,” paparnya.
Berdasarkan hasil penelitian tersebut perlu perubahan ketentuan tentang penyitaan, perampasan, dan pembuktian untuk kepentingan pengembalian aset, baik dalam RUU KUHAP, RUU Perampasan Aset, ataupun dalam suatu peraturan perundang-undangan pidana yang khusus. (Humas UGM/Gloria)