Banyaknya jumlah wajib pajak yang ikut serta dalam tax amnesty menunjukkan masih tingginya fenomena penghindaran pajak di Indonesia.
Meski penghindaran pajak dirasakan sebagai sesuatu yang bermanfaat, khususnya bagi perusahaan, namun pada saat bersamaan penghindaran pajak juga memunculkan berbagai risiko.
Salah satu teori yang berkaitan dengan fenomena ini, teori keagenan, berpendapat bahwa penghindaran pajak merupakan aktivitas yang dapat memfasilitasi oportunistik manajemen seperti manipulasi laba dan dapat menyebabkan pemilik modal dan kreditur menjadi dirugikan.
“Ketika mengambil keputusan yang oportunistik ini, manajemen mengabaikan kepentingan pemilik sehingga pemilik menghadapi beberapa risiko terkait dengan penghindaran pajak,” ujar Dewi Kusuma Wardani saat mengikuti ujian terbuka program doktor di Fakultas Ekonomika dan Bisnis UGM, Rabu (10/10).
Dewi memaparkan, teori keagenan menjadi salah satu teori yang dipercaya dapat menjelaskan dampak dari fenomena penghindaran pajak. Meski demikian, teori ini mendapat tentangan dari teori stewardship yang mengatakan bahwa penghindaran pajak tidak berpengaruh terhadap risiko perusahaan, atau bahkan berpengaruh negatif.
Dalam disertasinya, pengajar di Universitas Sarjanawiyata Tamansiswa ini meneliti pengaruh kecenderungan penghindaran pajak terhadap risiko dengan corporate governance dan financial constraint sebagai pemoderasi.
Indonesia, menurut Dewi, memiliki karakteristik yang menyebabkan konflik keagenan menjadi tinggi. Karakteristik tersebut adalah kepemilikan terkonsentrasi yang menyulitkan pihak luar menjadi pemegang saham, tipisnya batasan antara pemegang saham dan kontrol yang menyebabkan lemahnya akuntabilitas dan struktur pengawasan, struktur kepemilikan yang kurang jelas, serta badan perusahaan yang kurang memadai.
“Keempat karakteristik ini menyebabkan manajemen dapat mengambil kebijakan secara oportunistik, termasuk kebijakan penghindaran pajak,” jelasnya.
Melalui penelitian ini, ia menemukan bahwa corporate governance yang lemah dan financial constraint yang tinggi dapat memperkuat pengaruh positif kecenderungan penghindaran pajak terhadap risiko perusahaan. Di luar kondisi tersebut, kecenderungan penghindaran pajak tidak berpengaruh pada risiko perusahaan.
Temuan ini disebabkan oleh kondisi penegakan hukum di Indonesia yang rendah sehingga risiko deteksi pelanggaran pajak juga masih rendah. Lamanya waktu antara periode perusahaan melakukan penghindaran pajak sampai dengan diputuskan bersalah dan dikenakan sanksi cukup panjang sehingga tidak dapat ditangkap oleh volatilitas pembayaran pajak selama 5 tahun setelah kejadian.
“Penelitian ini mendukung teori bahwa mekanisme yang dapat mengatasi masalah keagenan tipe kedua adalah tata kelola yang baik, yaitu adanya komisaris independen yang memadai dan dapat melindungi kepentingan pemegang saham mayoritas,” imbuh Dewi.
Pemerintah, menurutnya, perlu membuat aturan hukum yang jelas bahwa ketika perusahaan melakukan pelanggaran pajak maka yang dikenai sanksi tidak hanya perusahaan, namun juga pemilik, manajemen, dan konsultan yang memberikan advis strategi penghindaran pajak yang diambil oleh perusahaan. Hal ini diharapkan dapat mengurangi kasus penghindaran pajak yang terencana dan ditutupi dengan jasa keuangan, yaitu jasa audit, oleh kantor akuntan publik yand bereputasi.
“Aturan hukum ini harus dibarengi dengan penegakan hukum yang ketat sehingga dapat menimbulkan efek jera bagi pelakunya,” pungkasnya. (Humas UGM/Gloria)