Konflik Halmahera tepatnya di wilayah Malifut terjadi pada tahun 1999. Dampak dari konflik tersebut hingga saat ini masih terasa dalam kehidupan masyarakat.
Masyarakat masih hidup dalam suasana penuh kecurigaan dan hal ini berakibat bisa memunculkan kembali konflik yang pernah terjadi. Oleh karena itu, mengkaji konflik Halmahera dengan menggunakan pemikiran Mimesis René Girard diharapkan dapat menemukan secara mendasar penyebab konflik.
“Guna menemukan penyebab mendasar konflik tersebut maka pemikiran Mimesis René Girard dipakai untuk menganalisis konflik tersebut,” ucap Ebin Eyser Danius, di Fakultas Filsafat UGM, Kamis (11/10).
Dosen Program Studi Filsafat Keilahian, Universitas Hein Namotemo ini mengatakan hal itu saat menempuh ujian terbuka Program Doktor Fakultas Filsafat UGM. Wakil Rektor I Universitas Hein Namotemo Juni 2016 – November 2016 ini mempertahankan disertasi berjudul Konflik Halmahera Dalam Perspektif Pemikiran Mimesis René Girard.
Analisis konflik Halmahera di Malifut berdasarkan pemikiran Mimesis René Girard adalah tidak tuntasnya proses relokasi masyarakat suku Makian ke wilayah Malifut. Ketidaktuntasan tersebut membuat masyarakat suku Makian mengalami kegamangan antara menetap di Malifut atau kembali ke pulau Makian.
Ebin menuturkan dengan kondisi tersebut maka menciptakan gap antara suku Makian dengan suku Pugu yang merupakan penduduk asli. Akibat dari ketidaktuntasan ini pula memunculkan persoalan tanah dan sebagai dampaknya adalah persaingan dalam memperebutkan tanah.
“Perebutan tanah dengan berbagai isu di dalamnya menguatkan identitas yang pada gilirannya menghasilkan persaingan yang berujung pada konflik dan kekerasan,” katanya.
Tidaktuntasnya relokasi masyarakat Makian ke Malifut, kata Ebin, juga membuka peluang bagi politisi lokal untuk memperlihatkan pengaruh mereka. Perjuangan-perjuangan dalam identitas kesukuan membuat ikatan yang seharusnya dijalin antar masyarakat dalam wilayah Malifut tidak terjadi.
Ikatan tersebut justru terjadi di luar masyarakat. Akibatnya terjadi peningkatan ketegangan dalam kehidupan bersama di Wilayah Malifut.
“Dengan demikian maka konflik Malifut merupakan akumulasi dari berbagai situasi yang muncul akibat proses relokasi yang dilakukan pemerintah,” terangnya.
Analisis pemikiran Mimesis René Girard terhadap konflik Halmahera juga memperlihatkan terjadinya peningkatan persaingan yang menjadi konflik dengan kekerasan dikarenakan tidak berjalannya mekanisme kambing hitam. Penyaluran persaingan yang muncul sebagai akibat dari hasrat mimesis tidak menemukan wadah yang mampu meredakan ketegangan dan persaingan yang terus-menerus terjadi antara kedua suku tersebut.
Konflik pertama terjadi pada bulan Agustus 1999, kedua suku tidak menemukan cara untuk meredakan ketegangan dalam persaingan. Tidak adanya wadah membuat persaingan terjadi kembali dalam intensitas yang semakin tinggi.
Akibatnya, pada Oktober 1999 konflik dengan kekerasan terjadi. Berbagai faktor yang mendukung terjadinya konflik menjadikan kedua suku tidak menemukan pihak yang dapat disalahkan dan dalam hal ini keduanya dinilai menutup diri dari upaya menemukan solusi.
“Hal ini dapat terjadi karena adanya akumulasi dari berbagai faktor yang membuat kedua suku melihat bahwa jalan satu-satunya untuk menyelesaikan persoalan mereka adalah melalui konflik dengan kekerasan. Pertimbangan itu dapat diamati ketika identitas menguat yang menjadikan perbedaan semakin nyata,” tandas Ebin. (Humas UGM/ Agung)