Ketika sebagian masyarakat mengandalkan laut sebagai mata pencaharian dan hidupnya maka diperlukan perhatian dalam penegakan hukum. Penegakan hukum tersebut terutama terkait munculnya kerusakan ekosistem akibat pencemaran.
“Laut Indonesia termasuk jalur padat lalu lintas tanker sehingga sangat berisiko terjadinya pencemaran minyak akibat kecelakaan kapal tanker, seperti yang terjadi di Laut Cilacap yang merupakan kilang minyak terbesar di Indonesia,” ujar Elly Kristiana Purwendah, SH., M.Hum, di Fakultas Hukum UGM, Senin (15/10).
Menurut Elly, meski dalam praktik belum diterapkan secara ideal, prinsip-prinsip hukum internasional (polluter pays principle, precautionary principle dan strict liablility) untuk ganti kerugian pencemaran minyak akibat kapal tanker telah diterapkan ke dalam sistem hukum nasional. Penyelesaian tuntutan ganti kerugian pun belum dapat diselesaikan dengan baik, sementara institusi terkait belum melaksanakan prinsip-prinsip yang sesuai.
Masih terjadi tumpang tindih kewenangan dan konflik kewenangan antar institusi pada periodisasi sebelum tahun 2015 terutama sebelum terbentuknya Kemenko Maritim. Dengan terbentuknya Kemenko Kemaritiman sebagai koordinator maka penyelesaian kerugian pencemaran minyak akibat kecelakaan kapal tangker semakin memiliki harapan.
“Semua dengan menggunakan metode penghitungan kerugian sumber daya alam yang tepat (Contigent Analysis Method), dengan memperhitungkan keinginan membayar (willingness to pay) dan kesediaan untuk menerima (willingness to accept) antara Asuransi P&I dan korban,” katanya.
Menempuh ujian terbuka Program Doktor di Fakultas Hukum UGM dengan disertasi Nilai Keadilan Ganti Kerugian Pencemaran Minyak Akibat Kecelakaan Kapal Tanker Dalam Sistem Hukum Indonesia, Elly Kristiana menuturkan pemerintah perlu menata ulang institusi yang bertanggung jawab terhadap penuntutan dan penghitungan ganti kerugian yang tepat untuk menghindari proses penghitungan kerugian yang memakan waktu lama dan berbelit-belit, dan perlu dibentuk lembaga penghitung ganti kerugian (loss adjuster). Dalam hal ini, Kemenko Kemaritiman, diharapkan dapat menjadi koordinator.
“Tentunya mengkoordinasi instansi lain berdasar database kelautan dan metode penghitungan ganti kerugian yang memperthitungkan seluruh sumber daya yang ada,” paparnya.
Selain itu, kata Elly, perlu dibuat sistem hukum acara khusus untuk ganti kerugian lingkungan mengingat penerapan precautionary principle, polluter pays principle dan strict liability dalam kasus pencemaran minyak tanker memiliki karakteristik khusus mengingat tanggung jawab perdata dan tanggung gugat asuransi P&I.
“Diperlukan pula sebuah lembaga penghitung kerugian sumber daya alam laut (loss adjuster) dalam tim pencegahan dan penanggulangan pencemaran minyak akibat kecelakaan kapal tanker,” ucap Elly didampingi promotor Prof. Dr. Marsudi Triatmodjo, S.H., LL.M dan ko-promotor Linda Yanti Sulistiawati, S.H., M.Sc., Ph.D. (Humas UGM/ Agung)