Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) FEB UGM menyelenggarakan Talkshow Anti Korupsi pada Sabtu (3/11) di Auditorium MM UGM. Kegiatan ini termasuk dalam rangkaian acara Ekonomi Bebas Korupsi (EBK) IX, selain Konferensi Mahasiswa Nasional yang sudah terselenggara pada 1-2 November dan Konser EBK IX yang akan diselenggarakan pada 18 November mendatang.
Dengan tema “Mengungkap Tabir dan Menjerat Mafia Sektor Swasta”, topik ini selaras dengan tema besar yang diangkat dalam EBK IX yakni “Mengungkap Kamuflase Mafia Korporasi sebagai Upaya Transformasi Ekonomi Indonesia”. Tema ini dipilih karena melihat kebanyakan masyarakat di Indonesia hanya mengamati tindak korupsi di sektor publik, padahal sektor swastalah yang biasanya menjadi penyebabnya.
Dadang Trisasongko, Sekretaris Jenderal Transparency International (TI) Indonesia selaku pembicara, membenarkan alasan terselenggaranya acara ini. Ia menyebutkan bahwa Indeks Korupsi Indonesia terbilang naik walaupun masih di bawah rata-rata dunia. “Hal ini tetap saja buruk,” tegasnya.
Salah satu penyebabnya, menurut Dadang, adalah korupsi yang dilakukan pihak swasta. “KPK saat inipun juga sudah mulai masuk ke sana. Tahun lalu, TI Indonesia juga telah memeriksa 100 perusahaan, hasilnya seperti yang sudah diduga, walau tidak seburuk pemeriksaan di BUMN,” sebutnya.
Dadang juga menyatakan bahwa korupsi di ranah pemerintahan sebenarnya juga melibatkan aktor dari swasta. Ia menyebutkan sekitar 80% kasus korupsi yang ditangani KPK melibatkan pihak swasta. “Jika kita lihat, walau investasi terus masuk, namun pendapatan pajak rendah, dampaknya kesenjangan semakin tinggi,” terangnya.
Alasan kenapa hal ini bisa terjadi, Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi KPK, menyebut karena belum pastinya regulasi hukum di Indonesia tentang kolusi dan korupsi yang melibatkan partai politik dan pengusaha. Ia mengkhususkannya lagi tentang bagaimana mendeteksi bahwa suatu korporasi mempunyai niat jahat.
Sujanarko mencontohkan seperti di negara Jepang, suatu korporasi dinilai memiliki niat jahat, semudah ketika ia tidak mematuhi standar yang telah ditentukan negara. “Saat ini, KPK sedang mencoba untuk mengusahakan hal yang serupa di Indonesia,” sebutnya.
Hal yang dimaksud Sujarnako adalah sertifikasi Ahli Pembangun Integritas (API) bagi perusahaan swasta. Sertifikasi API muncul sebagai tindak lanjut Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No. 13 Tahun 2016 tentang Tindak Pidana oleh Korporasi.
Sertifikasi ini dikeluarkan oleh lembaga sertifikasi nasional kepada sebuah perusahaan dengan terlebih dahulu diaudit oleh KPK. Tujuannya adalah untuk memastikan sektor swasta mematuhi aturan dan kebijakan antikorupsi dengan membangun sistem integritas dalam tubuh organisasi tersebut.
Selain itu, Sujanarko juga menyebutkan bahwa KPK sekarang ini sedang berusaha untuk memasuki pasar modal. Hal itu karena dalam pasar modal korupsinya tidak bisa teridentifikasi dengan mudah, terutama yang bersifat transnasional.
“Hal yang pasti kita disini, baik KPK, TI Indonesia, serta PPATK, akan terus berusaha untuk mencapai visi Indonesia 2045 tentang masyarakat yang antikorupsi,” pungkas Sujarnako. (Humas UGM/Hakam)