Implementasi restrukturisasi utang terhadap perusahaan go public berdasar hukum kepailitan Indonesia yang paling banyak digunakan di dalam praktik adalah penjadwalan kembali pelunasan utang atau rescheduling. Selain itu, rescheduling ini juga dikombinasikan dengan debt equity swap, hair cut, pengurangan dan penundaan jumlah bunga tertunggak, asset sales dan equity carve-outs serta penambahan utang baru.
Menurut Florianus Yudhi Priyo Amboro, dosen Universitas Internasional Batam, restrukturisasi utang tersebut terdapat di dalam perdamaian, baik di dalam proses kepailitan maupun PKPU. Meski fakta empiris menyatakan bahwa perkara-perkara kepailitan yang terkait perusahaan go public tidak ada satupun tercapai perdamaian, sedangkan dari sebagian besar perkara PKPU yang terkait dengan perusahaan go public tercapai perdamaian.
“Model restrukturisasi utang yang digunakan terhadap pencapaian persetujuan perdamaian adalah rescheduling yang dikombinasi model lain sebagaimana tersebut di atas. Akan tetapi kreditor juga akan melihat analisis solvabilitas dari perusahaan go public tersebut. Jika analisis solvabilitasnya positif maka perusahaan tersebut berkategori going concern dan kreditor akan yakin untuk menyetujui usulan perdamaian yang disampaikan, begitu juga sebaliknya,” ujar Flori, di Fakultas Hukum UGM, Senin (19/11).
Florianus Yudhi Priyo Amboro mengatakan itu saat menjalani ujian terbuka Program Doktor Fakultas Hukum UGM dengan disertasi berjudul Perlindungan Investor Pemegang Saham Publik Melalui Restrukturisasi Utang Dalam Proses Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang di Indonesia Terhadap Perseroan Terbatas Go Public. Promovendus dalam ujiannya didampingi promotor Prof. Dr. Nindyo Pramono, S.H., M.S dan ko-promotor Dr. Paripurna P. Sugarda, S.H., M. Hum., LL.M.
Florianus Yudhi mengatakan perlindungan investor pemegang saham publik dalam proses kepailitan dan PKPU terhadap perusahaan go public diatur di dalam lingkup Hukum Perusahaan dan Hukum Pasar Modal. Perspektif Hukum Perusahaan yaitu Undang-Undang No. 40 Tahun 2007 yang memberikan perlindungan berupa hak menggugat atau derivative action, hak membeli kepentingannya atau appraisal right, hak meminta diadakan audit atau enquete right, hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama, dan hak suara dalam RUPS.
Sementara Perspektif Hukum Pasar Modal yaitu Undang-Undang No. 8 tahun 1995 beserta peraturan pelaksanaannya yaitu dalam bentuk hak menggugat berdasar pasal 111 Undang-Undang tersebut menyatakan kewajiban perusahaan go public melakukan pelaporan dan pengumunan serta keterbukaan informasi.
“Semua dalam rangka memberikan kepastian bagi investor pemegang saham publik, OJK juga melakukan upaya konsultasi terhadap permasalahan perusahaan go public yang terkait dengan kepailitan maupun PKPU. Bursa Efek Indonesia melakukan langkah suspensi terhadap saham yang diperdagangkan di bursa sebagai langkah perlindungan bagi investor pemegang saham publik,” ucapnya.
Florianus berpandangan prospek pengaturan restrukturisasi utang berdasarkan Hukum Kepailitan Indonesia yang dapat memberikan perlindungan bagi investor pemegang saham publik pada perusahaan go public harus dapat mencapai konsep corporate resque yaitu tercapainya jalan perdamaian melalui restrukturisasi utang sehingga perusahaan masih dapat berguna bagi kepentingan kreditor. Hasil dari studi perbandingan hukum setelah dianalisis dan difokuskan pada pencapaian corporate resque dalam memaksimalkan proses yang mengarah pada kepentingan kreditor maka tercipta model yang mengadopsi konsep perubahan hukum yang harus dapat memfasilitasi adanya bentuk preventif dari terjadinya likuidasi dalam proses kepailitan.
“Untuk melaksanakan itu maka diperlukan indolvency test sebagai penegasan pemenuhan persyaratan dalam kepailitan, baik terhadap debitor yang insolven maupun debitor yang solven. Perubahan hukum juga harus dapat memfasilitasi rencana perdamaian yang harus memenuhi tolok ukur best interest of creditors,” imbuhnya. (Humas UGM/ Agung)