“Reformasi peradilan pasca amandemen UUD 1945 memunculkan one roof system dan pelembagaan Komisi Yudisial (KY) yang menyisakan catatan kritis untuk dievaluasi. Dampak terbesar dari hal itu, bahkan bisa berimbas pada otoritarianisme model baru,” ujar Idul Rishan.
Argumen tersebut ia sampaikan kala menjalani “Ujian Terbuka untuk Memperoleh Gelar Doktor Ilmu Hukum” pada Jumat (28/12) di Ruang Sidang Persatuan Lantai 3, Filsafat UGM. Hal itulah yang menjadi latar belakang permasalahannya menyusun disertasinya yang berjudul “Kebijakan Reformasi Peradilan dalam Pengelolaan Jabatan Hakim Setelah Perubahaan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945”.
Rishan menyebutkan bahwa reformasi peradilan melahirkan dua kebijakan yang telah disebutkan sebelumnya, yakni one roof system dan pelembagaan KY. Namun, pengawinan kedua kebijakan tersebut tidak mendapat porsi pembahasan yang tuntas.
“Realitas empiris justru menunjukkan bahwa penggabungan keduanya membuka pertarungan politik antara politik pemerintahan dan lembaga peradilan. Akibat desain minimalis dalam amandemen UUD, KY tidak mampu memainkan peran sebagai penghubung antara lembaga peradilan dan pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Rishan, Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK) sebagai wakil dari lembaga peradilan merasa memiliki pakem yang berbeda dengan konsep yang ditawarkan pemerintah dalam pengelolaan jabatan hakim. Sementara KY sebagai penengah tidak mampu menjalankan peran karena lemahnya landasan perundang-undangan. Hal itu menyebabkan selama dua dekade ini pengelolaan jabatan hakim mengalami fase tarik ulur yang tidak ada titik temunya.
Dalam analisisnya, Rishan menemukan bahwa ada lima faktor penghambat pelaksanaan kebijakan reformasi peradilan tadi. Kelima hal itu yaitu problem politik legislasi, arus resistensi kelembagaan, ajudikasi konstitusional, status quo peranan KY, dan kuantitas korupsi peradilan.
“Dalam menghadapi faktor tersebut, lembaga peradilan, baik MA dan MK, cenderung mensegresi kewenangan KY. Keduanya malah cenderung lebih royal mengeluarkan aturan-aturan internal kelembagaan ketimbang menyerahkannya kepada KY,”ujar Rishan.
Oleh karena problem yang berkepanjangan tersebut, Rishan menyebut saat ini muncul berbagai agenda pembaharuan terhadap kebijakan reformasi peradilan. Ia menyatakan agenda pembaharuan ini dapat dilakukan dengan tiga tawaran alternatif.
“Alternatif pertama, melalui insitusionalisasi RUU Jabatan Hakim. Alternatif kedua, dapat ditempuh dengan merevisi paket UU di bidang kekuasaan kehakiman. Aternatif ketiga, dengan amandemen kelima UUD 1945. Namun, ketiganya memiliki tantangan dan peluang masing-masing,” pungkasnya. (Humas UGM/Hakam)