Ketidakberhasilan penyediaan perumahan yang terjangkau untuk kalangan masyarakat berpenghasilan rendah mendorong masyarakat memilih alternatif mendirikan perumahan informal. Sayang, perumahan informal ini menyimpan permasalahan utama yaitu proses pembangunan yang tidak terencana, tidak sesuai dengan rencana tata ruang dan pada umumnya tidak ada terkoneksi sistem prasarana dan sarana perkotaan.
Ir. Sri Hartoyo, Dipl.SE., ME, Widyaiswara Utama pada Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia (BPSDM) Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, mengatakan permukiman yang proses pembangunannya tidak terencana akan menimbulkan permukiman yang kumuh. Sementara terkait permasalahan ini, pemerintah telah melakukan berbagai upaya untuk mengentaskan permukiman kumuh melalui kebijakan dan program.
Data Kementerian PUPR tahun 2017 terkait program pengentasan ini telah berhasil menurunkan luasan permukiman kumuh dari 38.431 hektare di tahun 2014 menjadi 32.435 hektare di tahun 2017. Meski begitu, angka penurunan ini dinilai belum signifikan dalam mengurangi luasan permukiman kumuh secara keseluruhan.
“Kondisi ini menunjukkan diperlukan suatu evaluasi terhadap efektivitas kebijakan, program, dan instrumen pelaksanaan kebijakan pemerintah dalam pengentasan permukiman kumuh,” ujar Sri Hartoyo, di Auditorium Fakultas Geografi UGM, Sabtu sore (5/1) saat menempuh ujian terbuka Program Doktor.
Menurut Sri Hartoyo, tantangan yang perlu dijawab pemerintah, masyarakat dan seluruh pemangku kepentingan lainnya adalah bagaimana mempertahankan hasil pengentasan permukiman kumuh yaitu mencapai tujuan pengentasan kumuh berkelanjutan tanpa menjadi kumuh kembali, namun justru menjadi permukiman yang layak huni.
Dalam ujian yang menghadirkan Dr. Ir. Basuki Hadimuljono, M.Sc, Menteri PUPR sebagai salah satu penguji, Sri Hartoyo menyebut pengentasan permukiman kumuh berkelanjutan dapat dijadikan model sekaligus diterapkan dengan memperhatikan beberapa faktor. Ditandaskannya, pengentasan permukiman kumuh berkelanjutan pada dasarnya harus memperhatikan aspek-aspek utama, yaitu kebijakan aspek lingkungan, rasa saling percaya, fasilitas bantuan keuangan kepada masyarakat kelompok sasaran, daya beli, status penguasaan lahan dan status pendidikan.
“Perhatian pada aspek-aspek terkait lainnya disesuaikan berdasarkan tipologi besaran kota, tipologi lokasi geografis dan tipologi tingkat kekumuhan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengentasan permukiman kumuh pada prinsipnya berbeda untuk setiap tipologi seperti yang dimaksud,” tandas Sri Hartoyo didampingi promotor Dr. Lutfi Muta’ali, M.T dan ko-promotor Dr. Sri Rum Giyarsih, M.Si. (Humas UGM/ Agung)